Sifat-Sifat Guru Dalam Pandangan Mahmud Yunus
(tinjauan psikologis-pedagogis )
A.
Pemikiran Mahmud Yunus
tentang Sifat-Sifat guru
Guru
memiliki tugas yang sangat penting sekali, gurulah yang mengembangkan ilmu
pengetahuan dan memperbaiki masyarakat. Sekolah adalah sumber untuk tiap-tiap
kebaikan dan guru yang ikhlas dapat mengangkat derajat umat, sehingga setaraf
dengan negara-negara yang telah maju. Gurulah yang telah menanamkan pada diri
anak didiknya akhlaq yang baik dalam kehidupan anak didiknya. Dan dari gurulah
kebaikan-kebaikan akan diterima oleh peserta didik.
Oleh
sebab itu gurulah yang mempunyai kesempatan yang besar sekali untuk memperbaiki
keburukan-keburukan yang tersebar dalam masyarakat. Seorang guru bukanlah hanya
sebagai tenaga pengajar saja, lebih dari itu guru menjadi sumber perbaikan, menjadi
contoh, menjadi tauladan dan memberikan bimbingan kepada anak didiknya agar
anak didik tersebut tetap berada di jalan yang benar.
Pengaruh
guru terhadap anak didik sangatlah besar, sama dengan pengaruh orang tua
terhadap anak-anaknya. Dengan adanya guru yang ikhlas dan mempunyai sifat-sifat
yang mulia di tengah-tengah anak didik, maka anak didik tersebut akan merasa
aman, nyaman dan sekaligus akan meniru sifat-sifat yang mulia tersebut. Dan
pada akhirnya sifat yang mulia tersebut menginternal ke dalam jiwa anak didik
dan dijadikan pakaiannya dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk
mewujudkan hal tersebut maka guru haruslah memiliki sifat-sifat dan kepribadian
yang mulia. Mahmud Yunus dengan pemikirannya memberikan gambaran tentang
sifat-sifat yang harus dimiliki seorang guru, agar guru tersebut berhasil dalam
tugasnya sebagai tenaga pengajar dan juga sebagai seorang figur yang akan
selalu diingat dan dicontoh oleh anak didiknya. Adapun sifat-sifat yang harus
dimiliki seorang guru adalah sebagai berikut:
1.
Guru
haruslah mengasihi murid-muridnya seperti ia mengasihi anak-anaknya sendiri[1].
Sudah menjadi suatu tugas bagi guru
untuk mengasihi dan menyayangi anak didiknya seperti ia mengasihi dan
menyayangi anak-anaknya sendiri dan memikirkan keadaan mereka seperti
memikirkan keadaan anak-anaknya sendiri.
Rasa
kasih sayang wajib dan harus ada pada tiap-tiap individu seorang guru. Rasa
kasih sayang tersebut lebih-lebih harus dicurahkan kepada anak didik yang
miskin, datang dari rumah gubuk, bajunya kotor, kelakuannya buruk, perkataan nya
kasar, mukanya masam, hatinya keras seperti batu.
Menurut
Mahmud Yunus anak-anak yang seperti inilah yang menjadi kesempatan bagi seorang
guru untuk beruasaha membangkitkan semangat mereka yang telah padam dan
menghidupkan jiwa mereka yang telah mati. Maka salah satu jalan untuk
menghidupkan jiwa anak-anak tadi maka guru haruslah mengetahui hal ikhwal dan
kecendrungan hati anak tersebut, serta berusaha menolong dan membantuya dan
juga memberi petunjuk serta pengertian kepada anak tersebut dengan
penuh kejujuran dan kasih sayang.
Pemikiran
Mahmud Yunus ini didasarkan oleh sebuah kejadian yang dialami oleh Pestalozzie,
seorang ahli didik yang mengumpulkan 80 orang anak gelandangan di tengah jalan
yang mengemis kian kemari. Dalam beberapa bulan saja anak-anak gelandangan
tersebut dapat didiknya, sehingga menjadi anak-anak yang baik, berteman dan berkasih
sayang. Dalam mendidik Pestalozzie tidak pernah mengancam dan melakukan
kekerasan terhadap anak didiknya tersebut, melainkan memperlakukan mereka
dengan penuh kasih sayang dan kejujuran.
Jadi
rasa cinta dan kasih sayang yang tulus sangatlah diperlukan dalam mendidik.
Tanpa itu akan sulitlah bagi seorang pendidik
untuk menjinakkan hati yang liar yang ada pada anak didiknya tersebut.
2.
Guru
juga harus memiliki hubungan yang erat dan baik terhadap anak didiknya[2].
Menurut Mahmud Yunus hubungan jiwa antara guru dan murid-murid
haruslah baik dan erat, yaitu seperti hubungan antara orang tua dan anak.
Seorang guru haruslah dapat memandang anak didiknya seperti ia memandang
anaknya sendiri. Guru harus dapat mengorbankan waktu, tenaga dan fikirannya
untuk anak didiknya. Di sini Mahmud Yunus mengatakan bahwa sekali-kali
janganlah hubungan antara guru dan anak didiknya disertai dengan pukulan,
hukuman, kekerasan dan kemarahan. Dan juga guru jangan sekali-kali memandang
anak didiknya dengan pandangan kehinaan dan mengasingkan diri dari mereka. Di sini
Mahmud Yunus juga menekankan bahwa seorang guru janganlah menyangka bahwa dengan
bergaul dengan anak didiknya akan mengurangi kekuasaanya dan menghilangkan
kehormatannya. Bahkan dengan bergaul dan berbaur dengan anak didik akan
menambah rasa sayang anak didik tersebut kepada gurunya. Guru haruslah dapat
menjadi wakil dari orang tua anak didik dalam mendidik dan mengajar, guru juga
harus bertindak seperti ibu bapak tentang keadilan, kesabaran, dan juga kesantunan.
3.
Guru
juga harus mempunyai sifat rasa
kesadaran akan kewajibannya terhadap masyarakat[3].
Dan seorang gurupun harus tahu bahwa tiap-tiap pelajaran yang
diajarkannya adalah untuk dan demi kepentingan masyarakat. Guru juga harus
berusaha menanamkan akhlaq dan cinta tanah air dalam jiwa murid-muridnya.
Menurut Mahmud Yunus di atas, dasar pendidikan agama yang praktis dan cinta
tanah air serta teladan yang baik, guru
akan dapat membentuk generasi baru dan umat yang sempurna dalam segala segi
yang dibutuhkan oleh masyarakat. Maka di tangan gurulah dididik semua generasi
bangsa, kemudian mereka masuk ke dalam masyarakat, bekerja dalam lapangan
masing-masing.
4. Guru haruslah menjadi contoh bagi keadilan, kesucian, dan
kesempurnaan[4].
Guru juga harus memperlakukan sama antara murid yang satu dengan murid yang
lain, ia harus mengasihi semua muridnya dengan tidak membedakan antara satu
dengan yang lainnya.
5. Seorang
guru harus berlaku jujur dan juga ikhlas dalam pekerjaannya. Kejujuran dan
keikhlasan seorang guru dalam pekerjaannya adalah jalan yang terbaik untuk
kesuksesannya dalam mengajar sekaligus kesuksesan anak didiknya dalam belajar.
Guru harus menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya sebagai suatu kewajiban yang di pikul di atas
pundaknya.
Guru
yang terlambat datang ke kelas untuk mengajar adalah guru yang tidak jujur.
Oleh sebab itu guru haruslah jujur dan menjaga waktu murid-murid supaya jangan
terbuang dengan percuma. Hendaklah guru datang ke sekolah tepat pada waktu yang
telah ditentukan dan jangan sekali-kali terlambat, supaya guru jadi contoh dan tauladan bagi
murid-muridnya dalam menjaga waktu dan menepati janji.
6. Seorang
guru juga harus berhubungan dengan kehidupan masyarakat[5].
Sedikit banyaknya guru harus mengetahui urusan negrinya, sejarahnya, pertaniannya,
perusahaannya, perniagaannya, pemimpin-pimimpinnya, pujangga-pujangganya, ulama-ulamanya.
Dengan demikian guru dapat memberikan pendapat-pendapat dan buah pikiran kepada
anak didiknya tentang kemasyarakatan yang ada di sekitar anak didiknya
tersebut.
7. Guru
harus berhubungan terus dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Guru harus
mengetahui sedikit tentang berbagai macam ilmu pengetahuan. Hal tersebut
berguna untuk menjawab pertanyaan dari murid-muridnya sewaktu-waktu.
Pendek kata guru haruslah luas pengetahuan dan materinya, maka guru
yang luas wawasan keilmuannya akan dapat menata situasi kelasnya ketika
pelajaran berlangsung sekaligus akan menumbuhkan kecintaan anak didik terhadap
pelajaran yang diajarkannya tersebut[6].
8. Guru juga harus selalu belajar terus menerus, karena pada
hakekatnya ilmu pengetahuan tidak ada kesudahannya dan tidak ada akhirnya. Oleh
sebab itu guru haruslah selalu menambah ilmu pengetahuan secara terus menerus
dan jangan sampai ketinggalan informasi dan ilmu pengetahuan.
9. Guru juga harus mempunyai cita-cita yang tetap.
Guru haruslah memiliki cita-cita
yang kuat serta tetap pendiriannya. Sekali-kali janganlah seorang guru menyuruh
mengerjakan sesuatu pada hari ini dan melarangnya pada esok hari. Begitu juga
janganlah guru menyuruh sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan oleh
murid-muridnya. Apabila guru menyuruh anak didiknya untuk melakukan sesuatu
janganlah guru membiarkan anak didiknya mengabaikan perintah tersebut. Satu
perintah yang ditaati murid lebih baik daripada sepuluh perintah yang tidak
ditaati.
10. Seorang guru juga harus berbadan sehat, telinganya harus
nyaring, matanya harus tajam, suaranya sederhana (jangan terlalu lunak dan juga
jangan terlalu keras), terhindar dari penyakit terutama penyakit yang menular.
Dengan demikian guru dapat menunaikan tugasnya dengan baik[7].
Selain itu guru harus memperhatikan makanan dan tempat tinggalnya
dan dapat meluangkan waktu untuk beristirahat dengan cukup serta berolah raga
dengan teratur untuk mencukupi kesehatannya dan menjauhinya dari berbagai macam
penyakit[8].
Apa bila guru berbadan sehat, berotak tajam dan berakhlaq mulia, serta
mengingat Allah dengan hati nuraninya, niscaya ia akan mendapatkan kesuksesan
dalam menjalankan tugas-tugasnya.
11. Guru juga harus membiasakan murid-muridnya untuk percaya pada
diri sendiri dan bebas berfikir.
Mahmud Yunus menyarankan
untuk memberantas pendidikan yang menyerahkan segala-galanya kepada guru, yang
akan mengakibatkan kegagalan anak didik pada masa yang akan datang[9].
Menurut Mahmud Yunus pembiasaan berfikir dan bekerja sendiri akan
melatih kedewasaan pada anak didik dan akan menimbulkan rasa tanggung jawab
pada diri anak didik tersebut.
12. Seorang guru hendaknya berbicara kepada anak didiknya dengan
bahasa yang difahami dan dimengerti oleh anak didik tersebut.
Guru yang berbicara dengan
bahasa yang tidak difahami samalah artinya dengan ibu memberikan makanan keras
kepada bayinya yang baru lahir, tentu anak tersebut tidak akan dapat
menelannya. Demikian pula dengan anak didik yang tidak memahami bahasa guru, maka
anak didik tersebut tidak akan dapat menerima pelajaran yang diberikan oleh
guru tersebut.
13. Seorang guru haruslah memikirkan pendidikan akhlaq.
Guru harus ingat bahwa tujuan yang utama dalam pendidikan ialah
pendidikan akhlaq, baik perangai, keras kemauan, mengerjakan kebaikan dan
menjauhi kejahatan. Menurut Mahmud Yunus tujuan pendidikan akhlaq bukanlah
semata-mata belajar ilmu akhlaq. melainkan membentuk pemuda pemudi yang
berakhlaq baik, bercita-cita tinggi, baik perkataan dan perbuatannya, bijaksana
dalam segala tindakan[10].
Menurut Mahmud Yunus bahwa tujuan pendidikan akhlaq adalah
membentuk akhlaq dan mendidik ruhani, yang mana tujuan ini haruslah menjadi
arah dan tujuan yang tetap dari setiap
para guru, baik guru pelajaran agama maupun guru pelajaran umum. Maka tiap-tiap
pelajaran adalah pelajaran akhlaq dan tiap guru adalah guru akhlaq.
14. Guru juga harus memiliki kepribadian yang kuat[11].
Karena menurut Mahmud Yunus kepribadian seorang guru
sangatlah mempengaruhi kesuksesan guru dalam mendidik anak-anak didiknya.
Tetapi kepribadian juga bukanlah satu-satunya kunci dari kesuksesan seorang
guru. Selain memiliki kepribadian yang kuat, guru juga dituntut untuk memiliki
keahlian dari segi ilmiyah dan juga memiliki bakat keguruan untuk jabatannya
tersebut.
Menurut Mahmud Yunus guru
tidak akan dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya kecuali guru tersebut memiliki pengaruh dan
kewibawaan dalam hati anak didiknya. Dan
pengaruh serta kewibawaan itu ada apabila guru tersebut memiliki kepribadian
yang kuat.
Masih Menurut Mahmud Yunus, agar guru memiliki kepribadian yang
kuat, maka guru tersebut haruslah
percaya kepada dirinya sendiri, dan menghormati dirinya, janganlah ia
menghinakan dirinya sendiri kepada orang yang lebih tinggi dari dirinya, dan
janganlah ia menyombongkan diri terhadap orang-orang yang berada di bawahnya.
15. Guru haruslah memiliki badan yang tegap, panca indra yang
sehat, perkataannya fasih, akhlaqnya baik, pandai menghargai dirinya, jujur
dalam pekerjaan, suka menjaga disiplin, pandai bergaul, betul pendapatnya, keras
kemauannya, ahli dalam mata pelajarannya, mengetahui jiwa murid-muridnya dan
kemauan hati mereka, ia dapat mengatur pekerjaan sekolah sebagaimana mestinya[12].
Selain itu guru juga harus memiliki kesabaran yang tinggi dalam
mendidik anak didiknya. Karena keberhasilan seorang guru dalam mendidik dan
mengajar tergantung juga dari seberapa besar kesabarannya dalam mendidik anak
didiknya tersebut[13].
Selain Mahmud Yunus, masih banyak para tokoh pendidikan yang
memberikan persyaratan terhadap sifat-sifat guru. Prof. Dr Moh Atthiyah
Ap-abrasi mengemukakan bahwa seorang
guru harus memiliki sifat-sifat tertentu
agar ia dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Adapun sifat-sifat tersebut
adalah:
1.
Memiliki
sifat zuhud, tidak mengutamakan materi dan mengajarkarena mencari keridaan
allah
2.
Seorang
guru harus jauh dari dosa-dosa besar, sifat ria,dengki, permusuhan perselisihan
dan lain-lain sifat yang tercela.
3.
Ikhlas
dalam pekerjaan.
4.
Seorang
guru harus bersifat pemaaf terhadap muridnya, ia sanggup menhan diri, menahan
kemarahan, lapang hati, banyak sabar dan jangan pemarah karena sebab-sebab yang
kecil.
5.
Seorang
guru harus mencintai murid-muridnya seperti ia mencintai anak-anaknya sendiri.
6.
Seorang
guru harus mengetahui tabiat, pembawaan, adat kebiasaan dan pemikiran murid-muridnya.
7.
Seorang
guru harus menguasai mata pelajaran yang akan diberikannya, serta memperdalam
pengetahuannya sehingga mata pelajaran yang diajarkannya tidak akan bersifat
dangkal.
Adapun Imam Al-Ghazali menasehati kepada para pendidik Islam agar
memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1.
Seorang
guru harus menaruh kasih sayang terhadap murid-muridnya dan memperlakukan
mereka seperti perlakuan mereka terhadap anaknya sendiri.
2.
Tidak
mengharapkan balas jasa ataupun ucapan terima kasih, tetapi dengan mengajar itu
ia bermaksud mencari keridoan Allah dan mendekatkan diri kepadanya.
3.
Mencegah
murid dari suatu akhlaq yang tidak baik dengan jalan sindiran jika mungkin dan
jangan terus terang.
4.
Memperhatikan
tingkat akal anak-anak dan berbicara menurut kadar akalnya dan jangan
membicarakan sesuatu melebihi daya tangkap siswanya.
5.
Jangan
menimbulkan rasa benci pada diri murid mengenai cabang ilmu yang lain, tetapi
seyogyanya membukakan jalan bagi mereka untuk belajar mempelajari ilmu
tersebut.
6.
Seorang
guru harus mengamalkan ilmunya dan jangan berlainan kata dengan perbuatannya.
Abdurrahman An Nahlawi juga
menyarankan kepada guru untuk memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1.
Tingkah
laku dan pola pikir guru bersifat Rabbani.
2.
Guru
seorang yang ikhlas.
3.
Guru
harus bersabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada anak-anak.
4.
Guru
jujur dalam menyampaikan apa yang diserukannya kepada anak didiknya.
5.
Guru
senantiasa membekali diri dengan ilmu dan kesediaan membiasakan diri untuk
terus mengkaji.
6.
Guru
harus mampu mengelola siswa, tegas dalam bertindak serta meletakkan berbagai perkara secara
proporsional.
7.
Guru
mempelajari kehidupan psikis para pelajar selaras dengan masa perkembangannya
ketika ia mengajar sehingga ia dapay memperlakukan sesuatu sesuai dengan
kemampuan dan kesiapan psikis mereka.
8.
Guru
tanggap terhadap berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang mempengaruhi
jiwa, keyakinan, dan pola berpikir angkatan muda.
Dari uraian diatas, dapat kita lihat bahwa pemikiran Mahmud Yunus
dan pemikiran tokoh-tokoh pendidikan lain sejalan dan saling melengkapi. Banyak
persamaan-persamaan antara pemikiran Mahmud Yunus dengan pemikiran tokoh-tokoh
pendidikan yang lain.
Adanya kesamaan dalam pemikiran antara Mahmud Yunus dan tokoh-tokoh
pendidikan lain menurut penulis lebih disebabkan karena banyaknya karya-karya
tokoh-tokoh pendidikan yang terdahulu yang dibaca oleh Mahmud Yunus. Jadi
menurut penulis pemikiran Mahmud Yunus mengenai sifat-sifat guru lebih banyak
dipengaruhi oleh tokoh-tokoh pendidikan Islam sebelumnya.
B.
Fungsi Sifat-Sifat Guru Dalam Pendidikan
Sifat guru sangatlah mempengaruhi
keberhasilannya dalam mendidik anak didiknya. Sifat yang baik pada
seorang guru merupakan modal awal untuk menciptakan suasana pendidikan yang
baik pula. Dengan terciptanya situasi pendidikan yang baik maka akan mudahlah
bagi guru tersebut untuk menanamkan nilai-nilai dan juga mentransfer ilmu
pengetahuan kepada anak didiknya. Dengan demikian tujuan pendidikan yang ingin
dicapai oleh lembaga ataupun guru itu sendiri akan tercapai dengan maksimal.
Prilaku guru di kelas memiliki pengaruh yang sangat besar pada
perkembangan mental anak[14].
Kasih sayang yang diberikan guru kepada anak didiknya akan dapat membuat
suasana belajar lebih baik bagi anak didik. Sifat ramah yang ada pada guru akan
membantu anak didik dalam mengekspresikan perasaannya dengan lebih mudah. Siswa
akan merasa bebas dalam mendiskusikan pelajaran tanpa ada perasaan yang
tertekan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan belajarnya.
Bagi guru, dengan tertanamnya sifat-sifat yang baik pada diri
mereka akan lebih mudah untuk berinteraksi dengan anak didiknya. Dalam
interaksi belajar, guru mengambil peranannya sebagai pembimbing[15].
Membimbing berarti menghidupkan interaksi, yaitu menjadi motor dari pada proses
belajar mengajar itu. Betapapun juga dalam semua fungsinya guru merupakan tokoh
utama dalam interaksi itu, gurulah yang
memulai, guru pulalah yang memimpin proses, serta guru pulalah yang
menghentikan proses. Untuk menciptakan suasana tersebut, hal yang paling utama
adalah apakah guru tersebut dapat diterima di tengah-tengah anak didiknya atau
tidak.
Penerimaan anak didik terhadap gurunya dipengaruhi sifat yang ada
pada guru itu sendiri. Anak didik belum bisa menerima keberadaan gurunya lebih
disebabkan sifat-sifat yang ada pada guru tersebut. Seperti guru yang selalu
berkata kasar, maka anak didik sulit untuk menerima keadaan guru yang seperti
itu.
Maka guru yang seperti itu akan sulit untuk menciptakan interaksi
yang baik pada anak didiknya. Anak didik cendrung untuk menjauh ataupun tidak
terbuka kepada gurunya. Hal seperti ini merupakan kerugian yang besar bagi
seorang guru. Karena akan sulit bagi guru untuk mentransfer ilmu pengetahuan
apabila anak didiknya tidak memiliki sifat yang terbuka pada gurunya sendiri.
Maka sifat yang baik pada diri seorang guru akan dapat menimbulkan
interaksi yang baik pula antara guru dan anak didiknya. Adanya interaksi yang
baik tersebut merupakan suatu peluang bagi seorang guru dalam membina anak
didiknya baik dari segi moral ataupun ilmu pengetahuan.
Sebagaimana kita ketahui tugas guru adalah sebagai pendidik[16].
Sebagai pendidik seorang guru haruslah memiliki standar kualitas pribadi yang
baik pula. Guru harus menghiasi dirinya dengan rasa tanggung jawab yang tinggi,
berusaha mengembangkan nilai, watak dan hati nurani anak didiknya. Dengan
mendidik guru harus mengupayakan perbaikan-perbaikan pada anak didiknya
terutama di bidang ilmu pengetahuan
dan akhlaq.
Ini tidak akan dapat dilakukan oleh guru jika guru tersebut belum
dapat untuk mendidik dirinya sendiri. Sangat sulitlah bagi seorang guru untuk
membentuk akhlaq dan kepribadian pada
anak didiknya sedangkan ia sendiri masih jauh dari akhlaq yang digariskan bagi
seorang pendidik.
Anak didik cendrung akan memberontak ketika gurunya menganjurkan
untuk melakukan hal-hal tertentu, sedangkan guru itu sendiri tidak
melakukannya. Sebagai contoh, guru menganjurkan kepada anak didiknya untuk
tertib dalam berpakaian. Sedangkan dalam kesehariannya guru tersebut tidak
pernah berpakaian dengan rapi dan hal tersebut diketahui oleh anak didiknya.
Keadaan yang seperti ini akan menjadikan
anak didik enggan untuk melakukan apa yang dianjurkan oleh gurunya tadi.
Maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa sifat-sifat guru dapat
berfungsi sebagai contoh yang nyata pada anak didiknya. contoh yang baik yang
ada pada guru akan selalu diingat oleh anak didiknya, yang pada akhirnya contoh
tersebut akan diikuti dan menjadi suatu kebiasaan bagi anak didik.
Guru yang baik akan memberikan motifasi tersendiri bagi anak
didiknya. Motivasi tersebut akan timbul pada anak didik disaat guru tersebut
memiliki pemahaman yang prima tentang bagaimana mengajar[17].
Pemahaman yang prima tentang mengajar adalah bagaimana guru tersebut mengetahui
bagaimana memahamkan anak terhadap konsep yang disampaikannya. Tentu saja guru
tersebut akan memperhatikan aspek-aspek seperti media, metode dan lain
sebagainya.
Kematangan seorang guru dalam mengajar terlihat pula dari isi
materi yang disampaikan guru tersebut. Guru yang menyampaikan materi pelajaran
seperti apa adanya di dalam buku akan membuat anak cepat bosan. Hal tersebut
disebabkan karna anak tidak mendapatkan hal-hal yang baru dari proses belajar
tersebut. Berbeda dengan guru yang memiliki wawasan yang luas terhadap apa yang
diajarkannya. Anak akan merasa antusias dengan pelajaran tersebut. dan anak
akan termotivasi untuk bertanya dan mengetahui hal-hal yang belum diketahuinya.
Demikian pula halnya dengan metode yang digunakan guru dalam proses
belajar mengajar. Anak akan bosan disaat guru hanya menggunakan metode ceramah
tanpa diselingi dengan metode-metode yang lain. Guru harus sadar bahwa tidak
ada satupun metode itu efektif untuk seluruh materi atau bahan pelajaran[18].
Oleh sebab itu, guru harus bisa memilih metode yang sesuai dengan pelajaran
yang sedang diajarkannya. Dengan metode yang berfariasi akan menimbulkan perasaan senang pada anak didik. Siswapun
akan semangat dalam belajar, sehingga memungkinkan mendapatkan nilai yang baik.
Menurut penulis sifat-sifat yang baik yang ada pada guru dapat
memberikan motivasi bagi anak didiknya dalam menerima pelajaran. Oleh sebab itu
seorang guru harus selalu menambah pengetahuannya tentang bagaimana cara
mengajar yang baik. Di samping itu guru juga harus menguasai teori-teori
pendidikan. Hal ini nampak dari pemikiran Mahmud Yunus bahwa salah satu sifat
guru yan baik adalah belajar terus menerus sepanjang hayat.
Dengan belajar dan menambah pengetahuannya tentang masalah-masalah
kependidikan, seorang guru akan lebih siap ketika dia berada di depan kelas.
Kesiapan guru dalam mengajar dan mendidik akan memberikan motivasi langsung
kepada anak didik untuk belajar dengan baik dan lebih giat.
C.
Sifat-Sifat Guru di Tinjau Dari Aspek Psikologis-Pedagogis.
Dalam proses pendidikan, pendidik memegang peranan penting dan
menentukan dalam mencapai tujuan pendidikan. Pendidik merupakan orang
dewasa baik secara kodrati maupun secara profesi yang bertanggung jawab dalam menumbuh
kembangkan anak didik. Maka disini penulis akan mencoba untuk menganalisa
pemikiran Mahmud Yunus tentang sifat-sifat guru apabila ditinjau dari segi
psikologis pedagogis.
Pendidik adalah orang dewasa
yang membimbing anak agar si anak tersebut bisa menuju kearah kedewasaan[19].
Pendidik juga seorang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidik
dengan sasarannya yaitu peserta didik. Dalam mencapai keberhasilan pendidikan,
pendidik memiliki peran kunci yang menentukan, sebab bisa dikatakan pendidik merupakan
kunci utama terhadap kesuksesan pendidikan. Untuk itu pendidik haruslah
memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan profesi-profesi yang lain.
Seperti kita ketahui bahwasanya pendidikan adalah proses
pendewasaan terhadap peserta didik. Untuk itu sebelum pendidik mendewasakan
anak didiknya maka pendidik itu sendiri terlebih dahulu haruslah orang dewasa,
baik dari tutur katanya, perbuatannya, maupun sifat dan tingkah lakunya.
Pendidik haruslah orang yang dewasa, yang mana dewasa secara psikologis di sini ialah sudah mampu menilai mana yang
betul mana yang salah dan mampu menampung pendapat orang lain secara rasional[20].
Karena tidak mungkin pendidik membawa anak sebagai manusia yang belum
dewasa di bawa kepada kedewasaanya oleh
manusia yang belum dewasa. Orang yang dewasa haruslah benar-benar sadar akan
siapa dirinya, ia sadar apa yang diperbuatnya. Jadi menjadi orang dewasa dan
kedewasaan akan menyangkut persoalan moral, persoalan susila dan kesusilaan[21].
Kedewasaan yang ada pada seorang pendidik sangat mempengaruhi
peserta didik untuk mencapai pada taraf kedewasaan. Sebagaimana kita ketahui
bersama guru adalah orang yang paling dekat dengan anak didiknya, guru adalah
orang yang selalu berada di tengah-tengah anak didiknya. Kedewasaan guru akan
tertular kepada anak didiknya melalui interaksi yang selalu dilakukan antara
guru dan murid dalam pergaulannya tersebut. Dengan demikian seluruh gerak dan tindak
perbuatan guru haruslah mencerminkan kedewasaan yang sempurna. Karena apa saja
perbuatan yang dilakukan guru akan menjadi sorotan sekaligus contoh bagi anak
didiknya.
Ada hal lain yang dapat menunjang keberhasilan guru dalam
melaksanakan tugasnya yaitu keterbukaan psikologis seorang guru itu sendiri[22].
Guru yang terbuka secara psikologis biasanya ditandai dengan kesediaanya yang
relatif tinggi untuk mengkomunikasikan dirinya dengan anak didiknya. Ia mampu
untuk menerima kritikan dari anak didiknya dengan ikhlas dan tanpa adanya unsur
dendam terhadap anak didik yang mengkritiknya tadi. Di samping itu guru
tersebut memiliki rasa empati yang sangat tinggi, yakni
merespon terhadap apa yang sedang dialami oleh anak didiknya tersebut. Sebagai
contoh, seorang guru akan ikut merasakan sedih apabila salah seorang dari anak
didiknya tersebut mendapatkan suatu musibah ataupun
bencana.
Keterbukaan psikologis seorang guru sangatlah penting, karena guru
merupakan panutan dari anak didiknya. Dan juga keterbukaan psikologis guru
merupakan prakondisi atau prasyarat yang perlu dimiliki guru untuk memahami pikiran
dan perasaan orang lain terutama anak didiknya sendiri. Selain itu keterbukaan
psikologis dapat menciptakan suasana hubungan yang harmonis antara guru dan anak didik, sehingga
mendorong anak didik untuk mengembangkan dirinya dengan bebas tanpa adanya
ganjalan.
Di tinjau
dari sudut fungsi dan signifikansinya, keterbukaan psikologis merupakan karakteristik
kepribadian yang penting bagi guru dalam hubungannya sebagai direktur belajar
selain sebagai panutan siswa. Oleh karena itu, hanya guru yang memiliki
keterbukaan psikologis yang benar-benar diharapkan berhasil dalam mengelola
proses belajar mengajar. Optimisme ini muncul
karena guru yang terbuka dapat lebih terbuka dalam berfikir dan bertindak
sesuai dengan kebutuhan para siswanya, bukan hanya kebutuhan guru itu sendiri[23].
Keterbukaan
seorang guru terhadap anak didiknya akan menimbulkan rasa bersatu antara guru
dan anak didiknya yang bersifat kekeluargaan yang pada akhirnya akan membuahkan
rasa saling pengertian serta saling mengisi di antara dua belah pihak. Anak
yang terbiasa dalam suasana perasaan bersatu akan memperoleh pengalaman dasar
tentang corak hidup bersama untuk saling mengisi, mempercayai, dan juga jujur.
Tindakan pendidikan yang dilakukan oleh seorang guru untuk memelihara perasaan bersatu
dapat berupa menasehati, memperingatkan dan dapat juga dengan melaksanakan
hukuman.
Yang paling utama bagi guru dalam peranannya sebagai pendidik dan
pengajar adalah menunjukkan prilaku yang layak yang bisa dijadikan contoh dan
tauladan bagi anak didiknya. Guru harus senantiasa sadar akan kedudukannya di hadapan anak didiknya. Di manapun dan
kapanpun saja, guru akan selalu di pandang sebagai tauladan oleh anak didiknya.
Untuk itu guru haruslah memperlihatkan prilaku yang dapat diteladani oleh anak didiknya
dan masyarakat luas. Penyimpangan prilaku dari seorang guru akan dapat
sorotan dan kecaman yang tajam dari anak didik dan juga masyarakat lingkungan
sekitarnya. Guru yang berprilaku tidak baik akan merusak citranya sebagai seorang
guru dan pada akhirnya juga akan merusak
anak didik yang dipercayakan kepadanya..
Prilaku guru di kelas memiliki pengaruh yang sangat besar pada
perkembangan mental anak. Kasih sayang yang diberikan guru kepada anak didiknya
dapat membangun suasana belajar yang lebih baik bagi anak didik. Sifat ramah
guru terhadap anak didiknya akan membantu mereka mengekspresikan perasaan
dengan lebih mudah. Untuk itu rasa kasih sayang dan keramahan seorang guru
dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar menjadi dasar dalam
memahami sifat dan sikap anak didik.
Akan tetapi perlu juga diingat bagi seorang guru dalam melaksanakan
tugasnya sebagai pendidik. Pendidik yang sangat erat hubungannya terhadap
peserta didik akan mengakibatkan
kehilangan kewibawaan dari pada pendidik[24].
Adapun pendidik yang sangat keras akan ditakuti oleh anak didiknya. Maka
seorang pendidik haruslah bersifat senang kepada anak didik dan dengan penuh rasa
tanggungjawab dan penuh obyektif serta bersifat ramah, adil dan penuh kasih
sayang kepada anak didiknya dengan tidak berlebihan.
Kasih sayang, kewibawaan, dan tanggung jawab pendidikan merupakan
ruh dari pendidikan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya[25].
Ketiga hal tersebut dapat dikatakan sebagai prasyarat dalam melaksanakan
pendidikan. Tanpa adanya kasih sayang anak akan berkembang mengikuti kemauannya
sendiri, hal tersebut terjadi karena tidak adanya perhatian dan kasih sayang
yang didapatnya dari seorang pendidik. Demikian juga dengan kewibawaan, tanpa
kewibawaan guru akan kehilangan kepercayaan dari anak didiknya dan anak didik akan
bertindak semaunya tanpa peduli terhadap gurunya. Kalaupun anak didik tersebut
patuh, maka kepatuhan tersebut bukan berasal dari hati nuraninya sendiri, melainkan
suatu keterpaksaan yang harus ia lakukan.
Guru sebagai pendidik haruslah dapat memberikan kasih sayang kepada
anak didiknya. Seorang guru haruslah dapat memberikan kasih sayang kepada anak didiknya seperti orang tua
menyayangi anak-anaknya. Dengan adanya kasih sayang yang diberikan guru
terhadap anak didiknya di sekolah, maka sekolah tadi akan menjadi tempat yang
menyenangkan sekaligus menjadi rumah kedua bagi anak didik tadi.
Kasih sayang sangatlah mempengaruhi kehidupan rohaniah dan juga
jasmaniyah bagi seorang anak didik. Dengan kasih sayang, secara rohaniah anak
akan hidup dalam keceriaan, kebahagiaan dan juga kesenangan. Selain itu secara
jasmaniah, anak yang hidup dalam lingkungan kasih sayang akan menjadikan anak
tersebut tumbuh lebih sehat dibanding dengan anak-anak yang kurang mendapatkan
kasih sayang. Anak yang hidup dalam lingkungan kasih sayang akan memiliki hati
yang hangat. Maka dengan hati yang hangat tersebut ia akan memperlakukan orang
lain penuh dengan kecintaan.
Kasih sayang juga akan menyelamatkan anak dari sifat yang kerdil.
Anak-anak yang kurang mendapatkan kasih sayang akan hidup dan tumbuh sebagai
anak yang terkucilkan. Ia akan membenci orang-orang yang ada di sekitarnya, terlebih
orang yang selalu memperlakukannya dengan tidak baik dan pada akhirnya ia akan
membalas semua perbuatan yang diterimanya kepada orang lain.
Seorang guru haruslah dapat memberikan rasa kasih sayang kepada
anak didiknya. Akan tetapi kasih sayang tersebut janganlah terlalu berlebihan.
Karena kasih sayang yang terlalu berlebihan akan mengakibatkan sesuatu yang
sangat tidak diharapkan dan juga akan sangat merugikan bagi perkembangan anak
didik. Kasih sayang yang berlebihan akan
menimbulkan dampak yang negatif diantaranya
adalah :
1. Akan tumbuh sikap yang selalu ingin diperlakukan secara istimewa.
Anak yang mendapatkan kasih sayang dari
gurunya akan merasa bahwa dialah yang paling disayang oleh gurunya sehingga ia merasa paling baik dan paling bagus diantara teman-temannya.
Sifat ini akan membawa anak pada sikap egois dan ingin menang sendiri serta menimbulkan
sifat manja pada diri anak.
2. Anak yang selalu dimanja akan mengalami masalah dalam kehidupan rumah
tangganya dikelak kemudian hari, mungkin ia akan minta dilayani istri atau suaminya
secara sempurna. Mungkin yang lebih tidak baik lagi ia akan memperlakukan
istrinya sebagai pembantu yang harus tunduk pada perintahnya[26].
3. Anak-anak yang hidup dalam asuhan kasih sayang yang berlebihan dapat
menjadi anak yang sangat rentan dengan masalah, kehilangan kepercayaan diri, tidak
berani mengambil resiko, tidak mau melakukan pekerjaan-pekerjaan yang penting
dan selalu mengharapkan uluran tangan orang lain[27].
4. Anak tidak mau mengembangkan diri karena merasa cukup dengan apa yang diterimanya. Dalam
proses belajar anak selalu meminta bantuan dari gurunya karena anak tersebut
sudah terbiasa untuk selalu dibantu oleh gurunya tersebut.
5. Anak yang selalu hidup dalam kasih sayang yang berlebihan akan menjadi anak
yang sombong dan akan memaksakan kehendaknya dikelak kemudian hari.
Selain hal di atas, kasih sayang yang salah ditempatkan dan juga salah
digunakan akan mengakibatkan anak terus
menerus bergantung pada orang lain[28].
Maka anak akan selalu minta ditolong karena ia merasa belum dapat berbuat
apa-apa. Dalam hal yang demikian akan sukarlah bagi anak didik untuk mendapatkan kesempatan mencoba kesanggupan
sendiri. Maka hal ini akan mengakibatkan anak-anak menjadi manja dan kurang
rasa tanggung jawab.
Dalam
proses pendidikan di sekolah peranan orang tua sebagai pendidik
digantikan oleh peran seorang guru. Maka otomatis kasih sayang orang tua yang
diterima anak di rumah menjadi tanggung jawab bagi seorang guru untuk
menyayangi dan mengasihi anak didiknya tersebut. Menurut Uyoh Sadullah peranan
kasih sayang di sekolah merupakan bagian yang tak terpisahkan
dalam pembentukan sikap, kepribadian dan prilaku anak.
Pembentukan kepribadian anak di sekolah tidaklah mudah, seorang
guru akan sulit dalam membentuk kepribadian anak didiknya tanpa disertai dengan
kasih sayang yang tulus. Seorang guru di sekolah bertanggung jawab dalam
membimbing anak didik menjadi manusia yang bermoral, berhati nurani dan penuh kasih
sayang terhadap sesama. Maka untuk menciptakan hal tersebut seorang guru
haruslah menjadi sosok pribadi yang utuh, memiliki kepribadian yang stabil, tidak
emosional dan melaksanakan moral dalam semua aspek kehidupan, sehingga akan
menjadi tauladan bagi anak didiknya.
Kasih sayang seorang guru haruslah tergambarkan dalam prilakunya.
Kasih sayang tersebut harus terwujud
secara kongkrit melalui perbuatan. Tidak cukup guru hanya mengatakan “saya
menyayangi anak didik saya”. Akan tetapi kasih sayang tersebut harus tergambar dalam
perbuatannya sehari-hari dalam membimbing, mengajar dan juga bergaul di tengah-tengah anak didiknya.
Kasih sayang yang terwujud melalui prilaku, di samping secara psikologis akan
dirasakan anak, juga prilaku itu akan menjadi contoh atau teladan, apalagi anak
yang sedang beranjak remaja. Anak remaja memerlukan kasih sayang dengan kadar yang lebih besar dalam bentuk
yang kongkrit, karena mereka hidup dalam lautan kebimbangan dalam masa-masa
yang sangat kritis[29].
Menurut PP No 18 tahun 2007 tentang guru, bahwa kompetensi
pedagogik seorang guru meliputi pemahaman terhadap peserta didik. Seorang guru haruslah memiliki pemahaman akan
psikologi perkembangan anak, sehingga mengetahui dengan benar
pendekatan-pendekatan yang tepat yang
dilakukan pada anak ddiknya.
Maka dengan kasih sayang yang tulus seorang guru dapat melakukan
pendekatan-pendekatan terhadap anak yang mengalami permasalah dalam belajarnya.
Dengan kelembutan seorang guru, anak akan menceritakan permasalahan yang
dihadapinya. Sehingga akan mudahlah bagi seorang guru untuk menemukan solusi
atas apa yang sedang dihadaoi oleh seorang murid.
Seorang guru yang ramah, hangat dan selalu
tersenyum, tidak memperlihatkan muka yang masam atau kesal, merespon
pembicaraan atau pertanyaan anak didik, akan menumbuhkan kondisi psikologis
yang menyenangkan. Dengan demikian, dalam proses belajar anak tidak akan merasa
takut kepada gurunya. Anak akan dapat mencurahkan buah pikiran dan isi hatinya
saat menghadapi masalah dan anak akan senang melibatkan diri dalam kegiatan belajar
mengajar di sekolah. Prilaku anak didik yang seperti ini
terbentuk dari hasil dari mencontoh prilaku kasih sayang yang dicurahkan guru
terhadap mereka.
Sifat guru dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar.
Seorang guru yang bersifat otoriter akan menimbulkan dampak psikologis yang
tidak baik untuk siswa dan juga suasana kelas. Dengan sifat otoriter tersebut
hubungan siswa dan guru akan menjadi kaku, keterbukaan siswa untuk mengemukakan
kesulitan-kesulitan dalam belajar menjadi terbatas[30].
Dalam PP No 18 tahun 2007 disebutkan bahwa salah satu kompetensi
pedagogik yang harus dimiliki guru adalah pemahaman wawasan atau landasan
kependidikan[31].
Maka disini guru dituntut untuk memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam
pembelajaran dikelas.
Seorang guru yang berpengalaman tidak akan bersikap kaku disaat
mennghadapi anak didiknya. Sifat kaku yang dimiliki guru akan menyebabkan
kurangnya interaksi antara guru dan anak didik yang pada akhirnya akan
mengakibatkan terhalangnya interaksi belajar antara guru dan murid tadi.
Guru juga harus memiliki pengetahuan-pengetahuan yang diperlukan.
Pengetahuan keagamaan adalah pengetahuan
yang harus dimiliki guru dan juga pengetahuan-pengatahuan yang lainnya[32].
Guru harus memiliki pengetahuan agama karena salah satu tujuan
pendidikan adalah menciptakan manusia sebagai wakil Allah di muka bumi ini.
Untuk menghasilkan hal tersebut, maka manusia haruslah memiliki akhlaq yang Rabbani,
Maka guru dituntut untuk menguasai ilmu-ilmu yang berkenaan dengan Akhlaq[33], baik
akhlaq kepada Allah, manusia, dan lingkungan sekitarnya.
Pengetahuan guru ini janganlah hanya sekedar diketahui secara kognitif
semata, tetapi juga harus diyakini dan diamalkan dalam kehidupannya
sehari-hari. Dengan demikian pendidik akan menjadi sumber ilmu bagi anak
didiknya sekaligus menjadi figur
tauladan dan contoh untuk anak didiknya
tadi.
Dalam menjalani profesinya sebagai pendidik, guru haruslah memiliki
kewibawaan, baik dalam pembelajaran di kelas
maupun kegiatan lain di luar kelas. Interaksi ataupun hubungan pendidikan
tersebut biasanya diwarnai oleh adanya
aspek pendidikan yang didasari kewibawaan. Oleh sebab itu kewibawaan
mempunyai peranan penting dalam usaha menentukan dan juga merumuskan tujuan
hakiki dan arti penting pendidikan.
Sifat utama seorang pendidik adalah adanya kewibawaan yang
terpancar dalam dirinya terhadap anak didik[34].
Pendidik haruslah memilki kekuasaan ataupun kekuasaan batin dan menghindari
penggunaan kekuasaan lahir, yaitu kekuasaan yang semata-mata didasarkan kepada
unsur wewenang jabatan. Kewibawaan merupakan suatu pancaran batin yang dapat
menimbulkan pada pihak lain suatu sikap untuk mengakui, menerima, dan menuruti
dengan penuh pengertian atas pengaruh tersebut. Dapat juga kita katakan bahwa
kewibawaan dalam pendidikan adalah pengakuan dan penerimaan secara sukarela
terhadap pengaruh atau anjuran yang datang dari orang lain[35].
Jadi pengakuan dan penerimaan pengaruh tersebut atas dasar keikhlasan dan
kepercayaan yang penuh bukan atas keterpaksaan atau rasa takut dan lain
sebagainya.
Guru sebagai seorang pendidik haruslah memiliki kewibawaan, baik
dalam jam belajar maupun di luar jam pelajaran. Interaksi atau hubungan
pendidikan tersebut, biasanya diwarnai oleh adanya aspek pendidikan yang
didasari oleh kewibawaan.
Kewibawaan adalah suatu pengaruh yang diakui kebenaran dan kebesarannya, bukan sesuatu yang memaksa.
Kewibawaan harus berbanding dengan ketidak berdayaan anak didik, jika guru atau
pendidik kemampuannya tidak berbeda dengan anak didik, maka kewibawaan tersebut
akan sukar ditegakkan. Dengan demikian kewibawaan seorang guru atau pendidik akan
diakui apabila guru tersebut mempunyai kelebihan dari anak didiknya baik sikap,
pengetahuan maupun keterampilan[36]
Kewibawaan merupakan sifat mutlak
yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam pendidikan. artinya jika
tidak ada kewibawaan maka pendidikan tersebut tidak mungkin terjadi, Sebab
dengan adanya kewibawaan segala bentuk bimbingan yang diberikan oleh guru akan
diikuti secara sukarela oleh anak didik[37].
Kewibawaan hanya dimiliki oleh orang yang sudah dewasa, suatu
kedewasaan ruhaniah yang didukung kedewasaan jasmaniah. Kedewasaan ruhaniah
tercapai apabila seseorang telah mencapai puncak perkembangan jasmani yang
optimal. Kedewasaan ruhaniah juga tercapai apabila seseorang telah memiliki cita-cita hidup dan
pandangan hidup yang tetap. Cita-cita dan pandangan hidup telah menjadi milik
dirinya dan sekaligus berusaha untuk
melaksanakannya dalam prilaku dan
perbuatan dalam kehidupannya. Bagi seorang guru ataupun pendidik melaksanakan
cita-cita dan pandangan hidupnya itu secara nyata berlangsung melalui statusnya
sebagai orang tua maupun pendidik pengganti orang tua.
Seorang guru harus memiliki kewibawaan di mata anak didik, karena
anak didik membutuhkan perlindungan, bantuan dan bimbingan dari gurunya dan
guru harus bersedia untuk memenuhi kebutuhan anak didiknya tersebut. Guru dapat
memenuhi apa yang diinginkan anak didiknya selama adanya hubungan yang harmonis
antara guru dan anak didik tadi, sehingga selama itu pula terdapat pengakuan
akan adanya kewibawaan pendidik di mata anak didik.
Apabila anak sudah dapat mengakui kewibawaan gurunya, maka dapatlah
dimulai pendidikan yang sesungguhnya, anak mulai dapat dikenalkan dengan norma
yang sesungguhnya. Seorang anak bukan hanya harus berbuat sesuai dengan norma
secara paksa, melainkan norma-norma itulah yang diperkenalkan kepada anak
didik. Kepada anak didik diperkenalkan mana perbuatan yang baik dan mana
perbuatan yang buruk, dengan contoh, larangan, nasehat, dongeng, teladan, dan
lain sebagainya.
Setelah mendapatkan pengakuan kewibawaan dari anak didiknya, maka
seorang guru haruslah mempertahankan kewibawaan tersebut, sehingga kewibawaan
yang dimilikinya itu dapat dipelihara dan dibinanya.
Menurut Lageveld ( dalam
Umar Tirtaraharja,dkk, 2000) yang dikutip oleh Uyoh Sadullah,
mengemukakan tiga sendi kewibawaan untuk memeliharanya yaitu kepercayaan, kasih
sayang dan kemampuan mendidik[38].
Dalam mempertahankan kewibawaannya, seorang guru perlu didukung
oleh keadaan batin diantaranya adalah:
1.
Adanya
rasa cinta.
kewibawaan itu dapat dimilki seseorang apabila hidupnya penuh
kecintaan dengan atau kepada orang lain.
2.
Adanya
rasa demi kamu.
sikap ini dapat dilukiskan sebagai suatu tindakan, perintah atau
anjuran bukan untuk kepentingan orang yang memerintah, tetapi untuk kepentingan
orang yang diperintah, menganjurkan demi orang yang menerima anjuran, melarang
juga demi orang yang dilarang.
3.
Adanya
kelebihan batin.
seorang guru yang menguasai bidang studi yang menjadi tanggung
jawabnya, bisa berlaku adil dan obyektif .
4.
Adanya
ketaatan kepada norma.
dengan menunjukkan bahwa dalam tingkah lakunya dia sebagai
pendukung norma yang sungguh-sungguh, selalu menepati janji yang pernah dibuat,
disiplin dalam hal-hal yang digariskan.
Dalam mendidik guru juga dituntut untuk bertanggung jawab terhadap
pekerjaan yang telah digelutinya. Tanggung jawab seorang guru dalam pendidikan
meliputi dalam hal memberikan bimbingan kepada anak didik untuk mencapai tujuan
pendidikan. Guru bertanggung jawab agar anak menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, guru
bertanggung jawab untuk menjadikan anak didiknya menjadi manusia yang berakhlaq mulia, manusia
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri[39].
Dalam kaitannya dengan mendidik, seorang guru juga bertanggung
jawab dalam mencetak anak didiknya agar anak didik tersebut mengetahui
kedudukan manusia sebagai pemanfaat dan penjaga kelestarian alam[40].
khususnya bumi di mana manusia itu tinggal. Allah SWT telah menciptakan alam
ini dan telah memberikan kemampuan kepada manusia untuk menyingkap berbagai
rahasia alam dan memanfaatkannya untuk kehidupan manusia yang lebih baik.
Maka guru haruslah mempunyai pandangan ke depan, kemana dia akan
membawa anak didiknya. Dan bekal apa yang akan diberikan kepada anak didiknya
agar anak didik tersebut dapat mengelola alam ini kelak kemudian hari.
Maka guru haruslah dapat memprediksi apa yang akan terjadi di masa
yang akan datang dan mempersiapkan untuk anak didiknya apa yang akan dan bakal
dihadapi anak didik tersebut setelah dia dewasa kelak. Untuk itu seorang guru
harus memiliki ilmu-ilmu yang mendukung kearah yang demikian itu dengan cara
selalu berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Tanpa hal tersebut, sangatlah sulit bagi guru untuk dapat memprediksi apa yang
akan terjadi di masa yang akan datang dan tentu juga sulit bagi guru untuk
membekali ilmu pengetahuan kepada anak didiknya dalam rangka menghadapi masa
yang akan datang.
Untuk itu guru harus memiliki fikiran yang kreatif [41].
Mengajak siswanya untuk bersama-sama berfikir tentang apa yang akan terjadi
pada masa yang akan datang sekaligus mencari solusi dan jalan keluar untuk
menghadapi masa yang akan datang tersebut. Dengan demikian anak didik akan
termotivasi sekaligus membayangkan apa yang terjadi jika hidup di masa yang
akan datang tanpa adanya ilmu pengetahuan.
Hal tersebut akan menjadikan anak lebih mencintai ilmu pengetahuan
dan memotivasi anak didik untuk berlomba-lomba dalam menimba ilmu. Coba kita
bayangkan apa bila anak didik kita tidak pernah kita ajak untuk memikirkan apa
yang akan terjadi di masa yang akan datang. Tentu anak didik tersebut akan
bersifat acuh terhadap ilmu pengetahuan dan enggan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan tersebut. Jadi guru yang mempunyai fikiran yang kreatif dapat
membawa anak didiknya berfikir kreatif pula dalam rangka pengembangan ilmu
pengetahuan tersebut.
Dalam perjalanannya seorang guru dalam mendidik anak didiknya haruslah
memiliki sifat jujur. Kejujuran bagi seorang guru adalah mahkota yang menghiasi
kepalanya. Jika kehilangan sifat jujur, maka guru tersebut akan kehilangan
kepercayaan manusia terhadap ilmunya dan terhadap pengetahuan-pengetahuan yang
akan disampaikan kepada mereka[42].
Karena anak didik selalu menerima apa yang disampaikan gurunya. Ketika anak
didik tersebut mengetahui bahwa guru tersebut telah berbohong, maka untuk waktu
yang lain anak didik tersebut akan ragu bahkan tidak akan mempercayai lagi apa
yang telah disampaikan gurunya tadi. Maka hal itu akan langsung menyebabkan
jatuhnya kewibawaan seorang guru di mata anak didiknya.
Secara psikologis, anak yang mengetahui kebohongan gurunya suatu
saat akan mengikuti kebohongan itu pula. Bahkan apabila guru tersebut selalu
berbohong dan diketahui oleh anak didiknya, maka anak didik tersebut akan
mengambil kesimpulan bahwa kebohongan tersebut diperbolehkan. Mengapa? Karena
guru yang menjadi panutannya selalu melakukan kebohongan terhadap mereka.
Kejujuran seorang guru membuat peserta didik percaya kepadanya dan
kepada apa yang ia ucapkan[43].
Ketika anak didik telah mempercayai guru dan apa yang diucapkan guru, maka akan
mudahlah bagi guru tersebut untuk menanamkan nilai-nilai terhadap anak
didiknya, dan anak didik tidak akan merasa ragu terhadap nilai-nilai yang
disampaikan guru kepada mereka.
Seorang guru dalam melaksanakan tugasnya juga harus memilki
kesabaran yang tinggi. Kaitannya dalam proses pendidikan adalah bahwasannya
kita mengetahui bahwa seorang guru pasti akan berinteraksi dengan
individu-individu yang memiliki karakter yang beragam. Anak didik juga memiliki
pola fikir yang berbeda-beda. Ditambah lagi dengan problematika murid yang terjadi secara terus menerus setiap
harinya. Semua hal tersebut mengharuskan adanya sifat sabar dalam diri guru
tersebut.
Sifat sabar sangat perlu dimiliki oleh seorang guru, baik dalam
melakukan tugas mendidik, maupun dalam menanti hasil jerih payahnya tersebut
dalam mendidik. Akan sia-sialah jika guru ingin lekas dapat menikmati atau
membanggakan hasil pekerjaannya, seperti hasil hukuman atau nasehatnya yang
diberikan kepada seorang anak didik.
Banyak usaha guru dalam mendidik anak-anak yang belum dapat kelihatan hasilnya
sampai anak itu keluar sekolah. Banyak pula usaha atau jerih payah guru yang
baru dapat dipetik buahnya setelah anak itu menjadi orang dewasa, setelah ia
berdiri sendiri dalam masyarakat.
Guru yang kehilangan kesabaran akan mengganggu aktifitasnya dalam
mengajar. Guru akan merasakan tekanan batin, terlebih ketika ia sedang
melaksanakan tugasnya dalam mengajar[44].
Seorang guru yang sudah mengajar dengan sungguh-sungguh, dan diakhir pelajaran
masih ada anak didiknya yang belum memahami apa yang disampaikan guru tersebut.
Maka guru tersebut dengan rasa kasih sayang dan dengan penuh kesabaran untuk
menyikapi dengan arif dan bijaksana kejadian tersebut tanpa adanya rasa marah.
Kemampuan mengatasi amarah adalah sebuah tanda kekuatan seorang
guru. Kesabaran dalam mengatasi kemarahan bukanlah tanda dari kelemahan
seseorang. Bahkan seorang guru yang tidak dapat mengatasi rasa marahnya akan
merendahkan kewibawaannya sebagai seorang guru. Karena bisa saja seorang guru
yang tidak dapat menahan rasa amarahnya akan mengeluarkan kata-kata cacian dan
makian terhadap anak didiknya, yang pada akhirnya akan menghilangan rasa simpati dari anak didiknya tersebut.
Guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik tidak hanya
dituntut untuk menyampaikan ilmu pengetahuan kepada aanak didiknya. Lebih dari
itu tugas seorang guru adalah menanamkan akhlaq yang mulia dalam diri anak
didiknya.
Dengan adanya pendidikan akhlaq ini dapat meluruskan naluri manusia
dan kecendrungan fitrahnya yang membahayakan masyarakat bilamana dibiarkan saja
menuruti keadaannya. Pendidikan akhlaq dapat membentuk rasa kasih sayang yang
mendalam yang dapat menjadikan anak didik tersebut merasa terikat selamanya
dengan amal yang baik dan selalu menjauhi perbuatan yang jelak[45].
Pendidikan akhlaq itu adalah pendidikan budi pekerti di lihat dari
segi pembiasaan seseorang dengan sifat-sifat yang baik dan mulia seperti jujur,
menghormati orang lain, ikhlas, suka beramal, berani dalam kebenaran dan percaya
pada diri sendiri.
Pendidikan akhlaq itu tidak hanya sebatas mendorong anak didik
untuk menghafalkan faedah-faedah dari berakhlaq baik dan menghafalkan bahaya
dari sifat yang tercela, lebih dari itu pendidikan akhlaq lebih menitik
beratkan pada praktek dan pengamalan dari sifat-sifat yang terpuji tersebut
sehingga tertanamlah sifat-sifat yang terpuji tersebut dalam jiwa anak didik.
Untuk menciptakan hal tersebut, di sinilah peran sentral dari guru
dalam mencontohkan akhlaq yang baik pada anak didiknya. Anak didik akan merasa
bingung, apabila sikap dan sifat seorang guru bertentangan dengan apa yang
didapatnya dalam pelajaran ahklaq. Dapat kita contohkan bahwa ahklaq
mengajarkan kepada kita untuk berbicara dengan lemah-lembut kepada orang lain.
Dilain fihak mereka selalu disuguhkan
dengan perkataan-perkataan yang tidak
baik dari gurunya, yang akhirnya menimbulkan suatu kebimbangan dalam diri anak
didik. Mana yang harus mereka ikuti? Apakah sifat yang ditampilkan oleh guru
mereka atau konsep ilmu pengetahuan yang telah diajarkan guru tersebut kepada
mereka?
Maka anak tersebut akan lebih cendrung untuk mengikuti apa yang
selalu disuguhkan guru terhadap mereka. Karena anak akan mengerjakan dan senang
untuk mengerjakan sesuatu yang sering terlintas dalam pikiran mereka[46].
Guru juga harus mempunyai sifat percaya kepada murid-muridnya[47]. Ini berarti seorang guru harus mengakui bahwa
anak-anak adalah makhluk yang mempunyai kemauan, mempunyai kata hati sebagai
daya jiwa untuk menyesali perbuatannya
yang buruk dan menimbulkan kemauan untuk mencegah perbuatan yang buruk.
Seorang guru yang selalu menaruh prasangka tidak baik kepada
seorang anak dan selalu memata-matai perbuatan anak menandakan bahwa guru
tersebut tidak menaruh kepercayaan terahadap anak didiknya. Apabila hal ini
terjadi maka guru tidak akan dapat mempercayai anak didiknya dan memandang anak
didik tersebut selalu berbuat salah apabila berada di belakangnya. Sehingga
anak didik yang mengetahui bahwa ia selalu diawasi oleh gurunya akan
berpura-pura baik ketika berada di lingkungan sekolah. Dan saat anak tersebut
berada di rumah atau keadaan yang menurut mereka tidak bisa dipantau oleh
gurunya, maka anak tersebut akan melakukan apa yang mereka kehendaki, walaupun
bertentangan dengan norma dan adab kesopanan.
Seorang guru juga hendaklah memiliki sifat suka tertawa dan memberi
kesempatan tertawa kepada anak muridnya[48].
Tentu saja tertawa di sini dalam batas-batas kewajaran dan tidak berlebihan.
Sifat ini banyak gunanya bagi seorang guru, antara lain akan memikat perhatian
anak-anak pada waktu mengajar, anak-anak tidak cepat bosan atau merasa lelah.
Akan tetapi sifat humor yang ada pada guru hendaklah tidak
digunakan untuk menjajah para anak didiknya. Artinya humor yang ada pada guru
tersebut tidak membuat pelajaran menjadi bertele-tele, melantur, sehingga
keluar dari apa yang seharusnya disampaikan oleh guru tersebut. Sehingga anak
didik mengalami kerugian dan pelajaran tidak maksimal disampaikan oleh guru
tersebut.
Dalam menjalani profesinya sebagai pendidik, guru harus benar-benar
menguasai mata pelajaran yang diajarkannya[49].
Untuk benar-benar menguasai pelajaran yang diajarkannya tersebut guru harus
selalu belajar dan menambah ilmu pengetahuannya. Dengan pengalaman dan pengetahuannya itu guru
dapat memberikan penjelasan dan analisis yang lebih mantap kepada anak didiknya[50].
Guru yang pekerjaannya memberi pengetahuan kepada anak didiknya tidak mungkin
akan berhasil jika guru itu sendiri tidak selalu berusaha menambah
pengetahuannya.
Guru yang tidak menguasai pelajarannya akan
merasa sulit ketika dia menyampaikan pelajaran tersebut kepada anak didiknya, sehingga
apa yang akan diterima oleh anak didik tersebut tidak maksimal. Selain itu perasaan tertekan dan bosan akan menghinggapi guru yang
tidak menguasai pelajarannya disaat pelajaran tersebut berlangsung. Sehingga
guru lebih cendrung untuk memper- masalahkan masalah-masalah yang mungkin tidak
perlu untuk dibesar-besarkan. Atau mungkin guru tersebut akan hanya memberikan
tugas kepada anak didiknya sebagai upaya untuk menghabiskan jam pelajaran
tersebut.
Sifat guru yang seperti ini, yang menunjukkan gerak-gerik ketidak
mampuannya dalam mengajar atau menguasai pelajaran akan berdampak negatif untuk
anak didik[51].
Secara psikologis sifat guru yang seperti ini akan mematikan semangat belajar
murid. Dikatakan demikian, ketika anak didik sedang berada dalam keinginan yang
besar untuk menguasai suatu materi pelajaran, disaat yang bersamaan guru tidak
mampu untuk menjadi jembatan yang menghubungkan antara anak didik dengan suatu
ilmu pengetahuan, sehingga anak didik tersebut merasa kecewa dan pada akhirnya
malas untuk belajar.
Dalam memahami dan menguasai pelajaran guru tidak harus identik
dengan menghafal pelajaran tersebut. Jadi, menguasai bahan pelajaran bukan
berarti harus hafal semua bahan pelajaran yang diajarkan. akan tetapi lebih
baik lagi apabila guru bisa hafal bahan pelajaran yang diajarkan dan mampu
untuk mengembangkannya[52].
Untuk itu guru haruslah selalu belajar dan
terus belajar. Memang sebelum ia menjalankan profesinya sebagai guru, guru telah mengenyam pendidikan. Akan tetapi pendidikan guru tersebut
tidaklah hanya sebatas empat atau lima tahun saja. Pendidikan guru berlangsung
seumur hidup[53].
Guru dapat belajar dan mengembangkan profesinya dengan jalan belajar sendiri,
mengikuti penataran, mengadakan penelitian, mengarang buku, dan semua kegiatan
yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuannya. Dengan demikian diharapkan akan
menciptakan sosok guru yang ideal dan dapat
mengatasi problem-problem yang dihadapi siswa dalam proses pembelajaran.
Balnadi Sutadipura dalam bukunya Aneka
Problema Keguruan memberikan syarat
berupa sifat yang harus dimiliki
oleh seorang guru salah satunya adalah kesehatan dibidang fisik [54]. Kesehatan
dibidang fisik di sini maksudnya seorang guru haruslah berbadan sehat,
tidak berpenyakit menular dan membahayakan seperti misalnya penyakit epilepsy
dan sebagainya, serta tidak memiliki cacat tubuh yang bisa mengganggu
kelancaran tugasnya di depan kelas. Seorang guru yang selalu sakit-sakitan akan
mengganggu aktifitasnya dalam proses belajar mengajar dan dapat mengganggu
tugas pedagogisnya[55],
sehingga akan merugikan anak didiknya, demikian juga dengan guru yang memiliki
penyakit menular akan membahayakan kesehatan anak didiknya dan membawa akibat
yang tidak baik dalam tugasnya sebagai pengajar dan pendidik. Seorang guru yang
cacat matanya akan menjadi bahan
tertawaan dan
ejekan anak-didiknya yang sudah tentu akan mendatangkan hasil yang tidak baik
bagi pendidikan anak didiknya.
Demikian pula dengan kesehatan mental seorang
guru, hendaknya guru tidak memilki gangguan mental. Karena ganggaun mental yang
diderita guru dapat mengganggu dan merusak interaksi pendidikan[56].
D.
Analisa Terhadap Pemikiran Mahmud Yunus Tentang Sifat-Sifat Guru.
Guru mempunyai suatu peran sentral dalam pendidikan. Gurulah orang
yang mengembangkan ilmu pengetahuan sekaligus sebagai pendidik yang mempunyai
tugas yang berat akan tetapi sangat mulia. Gurulah yang telah menanamkan pada
diri anak didiknya akhlaq yang baik dalam kehidupannya sehari-hari.
Guru sangat mempunyai pengaruh yang sangat besar, dengan adanya
guru yang memilki sifat yang baik, maka anak didik akan merasa aman dan tentram
dalam menuntut ilmu pengetahuan. Lebih dari itu, sifat yang baik yang selalu
ditunjukkan guru kepada anak didiknya, secara tidak langsung akan dicontoh dan
dijadikan tauladan bagi anak didiknya.
Mahmud Yunus seorang tokoh pendidikan, sekaligus
pemikir pendidikan, dalam hal ini memberikan
gambaran tentang bagaimana sifat yang baik untuk seorang guru dalam mengemban
tugasnya sebagai pendidik dan juga sebagai seorang pengajar.
Menurut Mahmud Yunus seorang guru haruslah mengasihi dan menyayangi
anak didiknya seperti ia mengasihi anaknya sendiri[57].
Kasih sayang yang merupakan fitrah manusia yang mana setiap manusia ditaqdirkan
oleh Allah memiliki kasih sayang
terhadap sesama. Dalam pendidikan, kasih sayang
merupakan suatu hal yang mendasar dalam membawa anak menuju pada tujuan
pendidikan yaitu kedewasaan.
Pendidik juga harus menyadari bahwa kasih sayang merupakan sesuatu
yang mutlak dalam melakukan interaksinya
dengan anak didiknya, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Karena tanpa kasih sayang pendidikan tidak
akan bermakna apa-apa[58].
Mengapa kasih sayang sangat diperlukan dalam pendidikan? Kasih
sayang merupakan suatu kebutuhan yang ada pada menusia. Yang mana apabila kasih
sayang tersebut hilang dari diri manusia, maka akan berdampak pada kehidupan
rohaniah maupun jasmaniah.
Menurut Uyoh Syadullah, secara rohaniah, anak
yang hidup dalam kasih sayang hidupnya akan penuh dengan keceriaan, kesenangan
dan juga kebahagiaan, secara jasmaniyah anak yang penuh dengan limpahan kasih sayang
lebih sehat dari anak-anak yang kurang mendapatkan kasih sayang[59].
Jadi menurut penulis pemikiran Mahmud Yunus tentang kasih sayang
seorang guru sejalan dengan pemikiran Uyoh Syadullah yang memandang penting
akan adanya kasih sayang guru dalam mendidik. Melihat begitu pentingnya rasa
cinta dan kasih sayang seorang guru, maka penulis sangat setuju terhadap
pemikiran Mahmud Yunus ini. Hal tersebut disebabkan tanpa adanya kasih sayang
seorang guru, anak didik tidak akan merasakan keamanan dan kenyamanan di saat
mereka menuntut ilmu. Kasih sayang guru akan berdampak pada psikologi anak,
yang mana dengan kasih sayang tersebut, anak didik merasa diperhatikan dan
diayomi oleh gurunya dan akan menimbulkan keceriaan pada anak didik.
Dalam dunia pendidikan keceriaan, kesenangan dan
juga kebahagiaan anak akan mempengaruhi dalam proses belajar mengajar. Anak
yang datang ke sekolah dengan hati yang senang maka akan lebih dapat menyerap
ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh gurunya dibandingkan dengan anak yang
datang ke sekolah dengan wajah yang cemberut dan bermalas-malasan.
Menurut penulis kerinduan seorang anak didik kepada gurunya berasal dari
kasih sayang seorang guru yang diberikan kepada anak didiknya. Rasa rindu anak
didik terhadap gurunya akan menjadikan anak tersebut menyenangi dan menyayangi
gurunya. Apabila perasaan ini ada pada anak didik, maka guru akan mudah untuk
membentuk kepribadian anak didik.
Pembentukan kepribadian anak didik juga akan dipengaruhi oleh kasih
sayang yang didapati oleh anak didik. Dalam dunia pendidikan guru bertanggung
jawab membimbing anak didik menjadi manusia yang bermoral, berhati nurani dan
penuh kasih sayang terhadap sesama. Untuk menciptakan hal tersebut, maka
penanaman nilai-nilai yang baik kepada anak didik haruslah dilandasi dengan
kasih sayang.
Seorang anak yang jauh dari rasa kasih sayang, pada masa yang akan
datang setelah ia dewasa akan
menampakkan kebencian terhadap masyarakat sekitarnya, dan menunjukkan ketidak
peduliannya terhadap orang lain. Ia tidak menunjukkan jiwa tolong menolong
terhadap masyarakat sekitarnya sehingga ia menjadi manusia yang tidak
berperasaan[60].
Maka menurut penulis apabila hal ini terjadi, maka gagallah tujuan
dari pendidikan kita. Karena kita tidak dapat membentuk suatu kepribadian yang
ideal pada diri anak didik kita. Dikarnakan dalam pendidikan kita gersang dari
rasa kasih sayang.
Kasih sayang yang diberikan guru juga akan menyebabkan adanya
interaksi pedagogis antara guru dan murid. Interaksi pedagogis merupakan suatu
pergaulan antara anak didik dengan orang
dewasa ( dalam hal ini pendidik ) untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu
manusia mandiri, manusia dewasa[61].
Dengan adanya interaksi pedagogis antara guru dan anak didik maka
akan terciptalah situasi belajar yang
menyenangkan. Anak tidak merasa takut dengan gurunya, demikian pula guru
memahami sifat dan karakter dari anak didiknya, sehingga terjadilah pergaulan
pendidikan yang mengarah kepada tujuan pendidikan itu sendiri. Yang kesemuanya
tersebut berawal dari kasih sayang yang diberikan guru terhadap anak didiknya.
Kasih sayang yang diberikan guru terhadap anak didiknya merupakan
suatu hiburan tersendiri bagi anak didik. Yang mana anak didik yang mungkin
memiliki permasalahan dengan keluarganya sehingga menghambatnya dalam menuntut
ilmu. Maka dengan kasih sayang yang tulus dari seorang guru akan dapat menjadi
sebuah penawar bagi permasalahan yang
tengah dihadapi oleh anak didik tadi.
Dalam memberikan kasih sayang kepada anak didiknya seorang guru
tidaklah boleh terlalu berlebihan. Karena kasih sayang yang berlebihan akan
mengakibatkan hal-hal yang berdampak negatif bagi anak didik itu sendiri .
Demikian pula dengan kasih sayang yang salah di tempatkan dan salah
digunakan akan mengakibatkan anak akan terus menerus bergantung kepada guru
atau pendidik[62].
Anak yang mendapatkan kasih sayang yang terlalu berlebihan akan
tumbuh sikap yang selalu ingin diperlakukan secara istimewa[63].
Hal ini akan menyebabkan anak tersebut merasa mendapat kedudukan yang paling
tinggi di antara teman-temannya yang lain. Situasi seperti ini sangat merugikan
bagi anak tersebut dan bagi guru yang bersangkutan. Bagi anak akan timbul suatu
sifat manja dan enggan untuk melakukan tugas yang diberikan guru kepadanya. Dan
bagi anak didik yang lain akan menimbulkan suatu kecemburuan sosial atas sikap
anak yang selalu ingin diperlakukan secara istimewa.
Demikianlah begitu pentingnya kasih sayang guru terhadap anak
didiknya dalam proses pendidikan. Kasih sayang guru terhadap anak didiknya
tidak hanya berpengaruh pada kejiwaan anak pada saat anak tersebut mengalami
proses belajar mengajar. Lebih dari itu kasih sayang dapat mempengaruhi anak
didik ketika anak didik tersebut berada di lingkungan masyarakatnya.
Seperti yang diungkapkan di atas, anak yang
kurang mendapatkan kasih sayang akan berdampak negatif di saat anak hidup di lingkungan masyarakat, salah satunya adalah
anak tersebut menampakkan kebencian pada masyarakat sekitar. Hal ini sangatlah
merugikan bagi anak dan juga lingkungannya. Apabila hal ini terjadi maka anak
akan hidup dalam keegoisannya.
Maka menurut penulis, dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang
guru, ia harus dapat memberikan kasih sayang terhadap anak didiknya. Akan
tetapi kasih sayang yang diberikan oleh guru tersebut dalam rangka membantu
anak didik agar dapat belajar dengan lebih baik. Guru haruslah menghindari
dalam memberikan kasih sayang yang terlalu berlebihan. Kasih sayang yang
terlalu berlebihan akan merusak kejiwaan dari anak didik itu sendiri yang pada
akhirnya akan merusak interaksi pedagogis antara guru dan anak didiknya.
Menurut Mahmud Yunus seorang
guru juga harus memiliki hubungan yang
erat dan baik terhadap anak didiknya. Hubungan yang erat dan baik ini akan
menyebabkan adanya suatu interaksi antara guru dan anak didik. Dengan adanya
interaksi yang baik ini akan timbullah hubungan yang harmonis yang pada
akhirnya akan membentuk situasi pergaulan yang baik.
Dengan adanya hubungan yang baik antara guru dan anak didik, maka
akan terciptalah sebuah interaksi sosial antara guru dan anak didiknya. Yang
mana interaksi sosial ini ditandai dengan keyakinan anak
didik bahwa guru akan membantunya dalam hal-hal tertentu di dalam
perkembangannya. Dengan adanya interaksi sosial antara guru dan anak didiknya, maka lahirlah sikap saling menghargai, menghormati, serta mentaati guru sebagai pernyataan pengakuan anak didik atas kewibawaan guru[64].
Seorang
guru yang ramah, hangat dan selalu tersenyum, tidak memperlihatkan muka yang
masam atau kesal, merespon pembicaraan atau pertanyaan anak didik, akan
menumbuhkan kondisi psikologis yang menyenangkan. Dengan demikian dalam proses
belajar anak tidak akan merasa takut kepada gurunya. Anak didik akan dapat
mencurahkan buah pikiran dan isi hatinya saat menghadapi masalah. Jadi hubungan
yang erat dan baik seorang guru dengan anak didiknya akan menjadikan proses
belajar mengajar lebih menyenangkan dan yang lebih penting anak akan selalu
merasa butuh terhadap guru tersebut dalam membimbing dan membantu mereka dalam
memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi.
Rasa butuh anak didik terhadap gurunya
menunjukkan adanya suatu kepercayaan yang tinggi dari anak didik. Situasi
seperti ini adalah modal utama bagi seorang guru untuk menciptakan situasi
pendidikan, dengan adanya situasi pendidikan ini maka terjadilah komunikasi dua
arah antara anak didik dan guru secara
sengaja dan terencana untuk mencapai tujuan pendidikan yaitu manusia dewasa.
Maka menurut penulis hubungan ataupun pergaulan yang baik antara guru dan
murid haruslah selalu dipupuk. Karena pergaulan ini akan menimbulkan perasaan bersatu
antara guru dan anak didik. Perasaan bersatu ini akan timbul karena adanya
interaksi yang berlangsung antara guru dan anak didik tersebut yang pada
akhirnya akan menimbulkan saling pengertian serta saling mengisi antara dua belah
fihak.
Menurut Penulis pergaulan
atau hubungan antara guru dan anak didik memang harus
selalu dipupuk dan dilestarikan. Akan tetapi hubungan ini hendaklah jangan
sampai menghilangkan kewibawaan seorang guru dimata anak didiknya. Pergaulan
yang tanpa batas akan menghilangkan kewibawaan guru. Guru yang terjun terlalu
dalam ke dunia anak didiknya akan mengakibatkan hilangnya kewibawaan bagi guru
itu sendiri. Jadi, pergaulan antara guru dan anak didik sangatlah penting
dengan tidak keluar dari koredor yang telah ditentukan.
Selanjutnya Mahmud Yunus menekankan pada guru
untuk menjadi contoh keadilan, kesucian dan kesempurnaan. Yang mana guru harus memperlakukan sama antara murid yang satu dengan murid
yang lain, ia harus mengasihi semua muridnya dengan tidak membedakan antara
satu dengan yang lainnya.
Sifat adil memang harus dimiliki oleh seorang guru pada anak
didiknya. Guru yang tidak adil akan dijauhi bahkan akan dibenci oleh anak
didiknya sendiri. Keadilan yang ditunjukkan guru dihadapan anak didiknya sangat
mempengaruhi kualitas hubungan antara
guru dan anak didiknya. Maka tidak ada ruang bagi seorang guru untuk hanya mencintai dan menyayangi salah satu dari anak didiknya. Guru juga
tidak diperkenankan bersikap mengistimewakan yang satu dari yang lainnya, baik
karena kedekatan, lebih mengenal, ataupun karena sebab-sebab yang lainnya.
Sikap seperti ini akan dapat dikategorikan sebagai sikap yang zolim yang tidak
akan diridhoi Allah SWT.
Sebagaimana diketahui, bahwasannya guru harus dapat menciptakan situasi pendidikan
pada anak didiknya. Yang mana situasi pendidikan tersebut dapat diciptakan
salah satunya dengan kewibawaan[65].
Ketidakadilan guru terhadap anak didiknya akan dapat menurunkan kewibawaan dan
kepercayaan anak didiknya. Dengan hilangnya kewibawaan dan kepercayaan
anak didik terhadap gurunya maka akan sulitlah bagi guru tersebut untuk
menanamkan norma dan nilai pada anak didiknya yang pada akhirnya anak didik
tersebut akan menolak pesan-pesan dan nilai yang disampaikan guru terhadap anak
didik tadi.
Selain itu ketidakadilan guru akan menyebabkan
perpecahan, ketidak harmonisan, permusuhan dan kebencian diantara murid-murid yang ada. Selanjutnya ketidakadilan guru
juga akan mengakibatkan terciptanya jurang pemisah yang sangat dalam antara
seorang guru dengan murid yang diperlakukan
berbeda dengan murid lainnya.
Maka hal ini berdampak negatif bagi situasi
pembelajaran. Secara psikologis siswa yang diperlakukan berbeda dengan siswa
yang lainnya akan menyebabkan kebencian terhadap guru tersebut. Apabila siswa
telah membenci guru dikarenakan kesalahan dan kelalaian dari guru tersebut, maka sulitlah bagi anak didik tersebut
menerima apa yang disampaikan oleh guru itu.
Jadi pemikiran Mahmud Yunus ini bertujuan untuk menciptakan suatu
kondisi yang baik dan hubungan yang baik antara guru dan anak didiknya. Dengan
adanya ketidakadilan yang ditegakkan guru terhadap anak didiknya akan
mempengaruhi hubungan antara guru dan murid serta mengakibatkan rusaknya
interaksi pedagogis antara guru dan anak didiknya yang akan mempengaruhi
kesiapan anak dalam menerima pengetahuan dan menerima guru tersebut dalam
proses pembelajaran
Dalam menjalankan profesinya sebagai pendidik, guru harus memilki
sifat sabar. Kaitannya dalam proses pendidikan, bahwasannya kita mengetahui
bahwa seorang guru pasti akan berinteraksi dengan individu-individu yang
memiliki karakter yang beragam. Anak didik juga memiliki pola fikir yang
berbeda-beda. Di tambah lagi dengan problematika anak didik yang terjadi secara terus menerus setiap
harinya. Semua hal tersebut mengharuskan adanya sifat sabar dalam diri guru
tersebut.
Menurut penulis sifat sabar
sangat perlu dimiliki oleh seorang guru, baik dalam melakukan tugas mendidik maupun
dalam menanti hasil jerih payahnya tersebut dalam mendidik. Akan sia-sialah
jika guru ingin lekas dapat menikmati atau membanggakan hasil pekerjaannya,
seperti hasil hukuman atau nasehatnya yang diberikan kepada seorang anak didik. Banyak usaha guru dalam
mendidik anak yang belum dapat kelihatan hasilnya sampai anak itu keluar
sekolah. Banyak pula usaha atau jerih payah guru yang baru dapat di petik
buahnya setelah anak itu menjadi orang dewasa, setelah ia berdiri sendiri dalam
masyarakat.
Berkaitan dengan proses pendidikan, seorang guru yang selalu
berinteraksi dengan individu-individu yang memiliki karakter yang beragam dan
memiliki pola fikir yang berbeda-beda. Belum lagi guru harus menghadapi tingkah
laku anak didiknya yang berbeda-beda pula. Semuanya tersebut mengharuskan
adanya kesabaran seorang guru dalam menghadapinya.
Kemampuan mengatasi amarah adalah sebuah tanda kekuatan seorang
guru. Kesabaran dalam mengatasi kemarahan bukanlah tanda dari kelemahan seorang
guru. Bahkan seorang guru yang tidak dapat mengatasi rasa marahnya akan
merendahkan kewibawaannya sebagai seorang guru. Karena bisa saja seorang guru
yang tidak dapat menahan rasa amarahnya akan mengeluarkan kata-kata cacian dan
makian terhadap anak didiknya, yang pada akhirnya akan menghilangan rasa simpati dari anak didiknya tersebut.
Apabila seorang guru melakukan hal tersebut, maka secara tidak
langsung guru tersebut menunjukkan kelemahannya dihadapan
anak didik sendiri. Yang pada akhirnya anak didik tersebut dapat menilai dan
mengambil sebuah kesimpulan bahwa guru tersebut tidak baik atau guru tersebut
jahat.
Terlebih lagi kemarahan guru yang disertai dengan perkataan kotor
yang keluar pada saat guru tersebut marah akan membekas pada jiwa anak didik
dan hal tersebut akan selalu diingatnya, dan pada akhirnya pada suatu saat anak tersebut
marah pada temannya, maka anak tersebut akan mengeluarkan kata-kata seperti apa yang
didengarnya pada saat gurunya marah.
Jadi Kesabaran seorang guru dalam mendidik sangatlah penting. Kesabaran
ini tidak hanya kesabaran dalam menghadapi prilaku anak didik ketika belajar
mengajar, lebih dari itu pendidik juga harus sabar dalam menanti hasil dari apa
yang telah dia kerjakan.
Seorang guru yang telah mendidik anak didiknya bertahun-tahun harus
sabar untuk mendapatkan hasil dari jerih payahnya tersebut. Seorang anak didik
yang dididik pada saat ini mungkin hasil didikan tersebut baru akan tampak
ketika anak tersebut beranjak dewasa. Ia baru dapat mengaplikasikan nilai-nilai
yang ditanamkan gurunya tersebut.
Seorang guru yang tidak mempunyai kesabaran yang tinggi, mungkin
akan merasakan frustasi ketika nilai-nilai yang diajarkannya tersebut tidak
dapat langsung diaplikasikan anak didik dalam kehidupannya. Sehingga guru
mengambil jalan pintas dengan pukulan ataupun dengan kekerasan agar anak
tersebut melakukan apa yang diinginkan guru.
Hal ini bukanlah keberhasilan yang akan didapat oleh guru tersebut,
seandainya anak didik tersebut melakukan apa yang disampaikan guru lebih karena
takut terhadap guru tersebut. Bukan karena sebuah kesadaran untuk berbuat suatu
kebaikan. Yang pada akhirnya pendidikan kita menghasilkan anak didik yang baik
hanya di depan pendidiknya dan kembali kepada watak yang asli di saat ia jauh
dari pengawasan gurunya tersebut.
Kesabaran guru juga diperlukan untuk membantu siswa yang mengalami
gangguan mental[66].
Bukan berarti mereka harus, tetapi guru tersebut harus sabar, meski mungkin bukan lagi menjadi tugas
utamanya. Guru yang sabar adalah guru yang bersedia menjelaskan dan bersedia
menunggu sampai siswa yang mengalami gangguan menjadi tenang dan tidak
meninggalkan pelajaran sepenuhnya. Guru yang terbaik adalah guru yang mempunyai
kesabaran yang tinggi dan bersedia melakukan
apa yang diperlukan anak didiknya, tanpa perduli berapa lama waktu yang
diperlukan.
Menurut penulis dalam menjalani profesinya sebagai guru haruslah
mempunyai kesabaran dalam dua hal yaitu: Kesabaran dalam menghadapi keragaman
tingkah laku anak didiknya dan kesabaran dalam menghadapi anak-anak yang lambat
atau lemah dalam menguasai pelajaran. Kesabaran guru ini sangat mempengaruhi
prilaku guru dalam mengajar. Guru yang tidak memiliki kesabaran yang tinggi
dalam menyikapi persoalan-persoalan pendidikan yang dihadapinya akan dihinggapi
stress dan frustasi yang berkepanjangan. Hal ini akan membuat kerugian bagi
guru itu sendiri terlebih lagi bagi anak didiknya.
Menurut Mahmud Yunus guru tidak akan dapat melaksanakan tugas
dengan sebaik-baiknya kecuali guru tersebut memiliki pengaruh dan kewibawaan
dalam hati anak didiknya. Pengaruh dan kewibawaan itu ada apabila guru tersebut
memiliki kepribadian yang kuat.
Pemikiran Mahmud Yunus tersebut menunjukkan begitu pentingnya
kewibawaan seorang guru dihadapan anak didiknya. Penulis melihat bahwa Mahmud
Yunus sangat memperhatikan sifat ini, karena kewibawaan merupakan hal yang
sangat urgen untuk mempengaruhi dan membentuk kepribadian anak didik.
Kewibawaan adalah suatu daya untuk mempengaruhi yang terdapat pada
seseorang sehinga orang lain yang berhadapan dengan dia secara sadar dan
sukarela menjadi tunduk dan patuh kepadanya. Jadi guru yang memilki kewibawaan
akan diikuti dan dipatuhi oleh anak didiknya secara sukarela dan tanpa adanya
rasa keterpaksaan.
Tanpa adanya kewibawaan pada
pendidik, tidak mungkin pendidikan itu dapat masuk ke dalam hati sanubari
anak-anak. Tanpa kewibawaan, murid-murid hanya akan menuruti kehendak dan
perintah gurunya karena takut atau karena paksaan, jadi bukan karena keinsyafan
atau karena kesadaran dalam dirinya[67].
Jadi, kewibawaan pendidik
sangatlah penting dalam proses pendidikan, yang mana telah kita ketahui bahwa kewibawaan
adalah pengakuan dan penerimaan secara
sukarela terhadap pengaruh atau anjuran yang datang dari orang lain.[68].
Jadi, pengakuan dan penerimaan pengaruh atau anjuran itu adalah atas dasar
keikhlasan, atas dasar kepercayaan yang penuh bukan didasarkan atas rasa
terpaksa, rasa takut akan sesuatu dan sebagainya.
Kalau seorang anak didik menerima apa yang dianjurkan dan
disarankan gurunya, hal ini bukanlah karena suatu keterpaksaan, atau rasa takut
akan sesuatu, melainkan penerimaan murid tadi didasarkan atas pengakuan dan
menerima kewibawaan yang ada pada guru tersebut. Sehingga ia mau mengakui dan
menerima anjuran tersebut dengan ikhlas dan sukarela dan penuh dengan
kepercayaan.
Kewibawaan merupakan suatu yang mutlak yang harus ada pada setiap
guru. Karena apabila pengakuan dan
penerimaan anjuran-anjuran dari guru itu tidak berdasarkan adanya kewibawaan dalam pendidikan, maka
penerimaan dari murid tadi berdasarkan atas keterpaksaan dan rasa takut kepada
guru tersebut. Sehingga anak didik tadi tidak menyadari arti penting dari apa
yang telah dianjurkan oleh guru. Yang pada akhirnya anak didik tadi akan sulit
untuk mencapai taraf kedewasaan dalam hidupnya.
Menurut Penulis guru yang
memiliki kewibawaan akan lebih mudah menanamkan nilai-nilai positif dalam diri
anak didiknya. Anak didik tidak akan merasa terpaksa ketika melakukan apa yang
dianjurkan oleh gurunya tadi. Karena anak didik sudah menaruh kepercayaan penuh
pada guru tersebut. untuk itu seorang guru hendaklah dapat menjaga kepercayaan
yang telah diberikan anak didiknya. Dan janganlah guru menghilangkan
kepercayaan itu dengan melakukan hal-hal yang menyimpang dari aturan-aturan dan
norma-norma yang telah digariskan
Berbeda halnya dengan guru yang tidak memilki kewibawaan di mata
anak didiknya. karena anak didik
tersebut belum percaya terhadap apa yang dianjurkan oleh guru tersebut. Hal ini
lebih disebabkan karena guru di mata anak didiknya belum dapat menjadi contoh
tauladan. Atau mungkin apa yang disampaikan guru tersebut sangat jauh berbeda
dengan perbuatan guru tersebut sehari-hari.
Guru yang seperti ini
cendrung untuk memaksakan kepada anak didiknya dengan suatu kekerasan agar
mengikuti apa yang dianjurkannya tersebut. Sehingga hal ini akan mempengaruhi
psikologis anak dalam interaksi pembelajaran. Anak akan merasa tertekan menghadapi
guru yang seperti ini. Karena anak didik selalu mendapatkan tekanan dari
gurunya, hal ini akan menimbulkan rasa takut yang berlebihan terhadap anak.
Apabila hal ini terjadi maka kehadiran anak didik di dalam kelas tidak akan
bermakna apa-apa. Anak akan sulit berkomunikasi dengan gurunya, dan juga akan
merasa takut untuk meminta bimbingan dan pertolongan kepada guru tersebut.
Untuk menghindari hal di atas, maka menurut penulis guru haruslah
menjaga kewibawaannya dihadapan anak didiknya. Apa yang dianjurkan guru
terhadap anak didiknya haruslah guru tersebut melakukannya terlebih dahulu.
Ketika guru menganjurkan kepada anak didiknya untuk disiplin, maka sebelum guru
menyampaikan kepada anak didiknya tentang disiplin, guru hendaknya terlebih
dahulu mendisipliknkan dirinya. Ketika guru menganjurkan anak didiknya untuk
bersih dan rapi, maka guru hendaknya menjadi orang yang paling rapi dan bersih
diantara anak didiknya. hal ini dikarenakan sifat anak-anak adalah suka meniru,
terlebih orang yang sangat diidolakannya.
Menurut penulis kewibawaan seorang guru sangat berperan dalam
menanamkan nilai-nilai pada anak didiknya. Maka tidak heran apabila Mahmud
Yunus memasukkan kewibawaan ini kedalam sifat yang harus dimiliki oleh seorang
guru. Runtuhnya kewibawaan seorang guru akan berdampak pada psikologi guru itu
sendiri. Guru akan merasa tidak percaya diri tatkala berada di tengah-tengah
anak didiknya. Bahkan mungkin guru akan merasa malu berada dekat anak didiknya
dikarenakan kesalahan yang diperbuatnya yang menyebabkan hilangnya
kewibawaannya di mata anak didiknya sendiri.
Pendidik lama kelamaan harus mengurangi kewibawaannya, hal ini
berarti, bahwa semakin lama anak harus
diberi kesempatan untuk berdiri sendiri[69].
Hal ini berarti anak harus diberi kesempatan untuk menentukan dan mengambil keputusan
atas tanggungjawabnya sendiri. Yang pada akhirnya ketika anak sudah dewasa anak
tersebut harus dapat mengambil jalan sendiri untuk kehidupannya. Jika anak
selalu digurui dan selalu diintervensi dalam kehidupannya, maka akan timbul
konflik dalam diri anak tersebut, sebab anak yang sudah dewasa akan merasa di injak
kedewasaannya dan merasa dilanggar
pribadinya.
Agar pendidik tersebut selalu berwibawa di mata anak didiknya maka
ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pendidik tersebut, diantaranya
adalah:
a.
Pendidik
harus siap dengan alasan mengapa pendidik tersebut menghendaki anak didiknya
untuk melakukan begini, mengapa pendidik memberikan nasehat begitu. Hal ini
perlu dilakukan oleh pendidik agar anak didik jelas, ini akan membuat anak didik menerima dengan kerelaan dan kesadaran.
b.
Bersikap
demi kamu.
Seorang pendidik harus selalu menunjukkan apa yang disampaikannya
demi kebaikan dan kemaslahatan bagi anak didiknya. sikap ini tidak perlu dijelaskan
pendidik dengan perkataan cukuplah pendidik menunjukkannya dengan sikap dalam
kesehariannya. Pendidik menuntut anak didik menasehati, melarang semuanya
tersebut demi anak didik sendiri bukan
untuk kepentingan pendidik semata.
c.
Bersikap
sabar.
Pendidik harus selalu bersikap sabar. Mungkin dalam menasehati anak
didiknya nasehat tersebut tidak langsung dilakukan oelah anak didik tersebut.
Maka seorang pendidik harus memberikan tenggang waktu kepada anak didiknya
untuk memikirkan kebaikan-kebaikan dari nasehat tersebut. Maka pendidik
dituntut untuk tidak cepat berputus asa, karena putus asa adalah sebuah
perbuatan yang salah dan akan menimbulkan kebencian pendidik kepada anak
didiknya.
d.
Bersikap
memberi kebebasan.
Disaat anak didik telah menanjak pada kedewasaan, maka pendidik
hendaknya memberikan kebebasan terhadap anak didiknya dalam hal-hal tertentu. Pendidik hendaknya memberikan kesempatan
kepada anak didik untuk dapat belajar sendiri, mengambil keputusan sendiri dan bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya.
Yang pada akhirnya dengan kedewasaanya anak didik akan dapat memilih mana yang
sesuai dengan hati nuraninya.
Sifat anak didik dalam menghadapi anjuran
ataupun norma juga terpengaruh dari hadir atau tidaknya guru[70].
Sebagi contoh pendidik memberikan aturan untuk membuang sampah pada tempatnya.
Jika guru tersebut ada, maka anak didik akan membuang sampah pada
tempatnya. Tapi ketika guru tidak ada maka anak didik tadi akan sembarangan
membuang sampah. Gejala semacam ini lama kelamaan akan hilang sesuai dengan bertambahnya umur anak didik
tersebut.
Menghadapi kasus seperti ini. Maka menurut penulis seorang guru harus bersabar dan tidak cepat putus asa.
Guru harus tetap menanamkan nilai-nilai kepada anak didiknya walaupun mungkin
hanya dilakukan anak didik ketika ia berada di tengah-tengah anak didiknya.
Akan tetapi hasil dari jerih payah guru dalam mendidik anak tersebut akan dapat
di lihat dengan bertambahnya kedewasaan anak
didik.
Mahmud Yunus menekankan bahwa seorang guru haruslah memikirkan
pendidikan akhlaq. Guru harus ingat bahwa tujuan utama dalam pendidikan ialah
pendidikan akhlaq, baik perangai, keras kemauan, mengerjakan kebaikan dan
menjauhi kejahatan. Pendidikan akhlaq ini bukanlah semata-mata belajar ilmu
akhlaq, melainkan membentuk pemuda-pemudi yang berakhlaq baik, bercita-cita
tinggi, baik perkataan dan perbuatannya, bijaksana dalam segala bidang[71].
Pemikiran Mahmud Yunus ini menurut penulis didasari dari tugas seorang
Nabi yaitu untuk menyempurnakan akhlaq. Seorang guru adalah ulama yang ‘alim
terhadap berbagai macam ilmu pengetahuan. Maka sebagai ulama, seorang guru
harus dapat mewarisi sifat-sifat kenabian. Jadi menurut penulis tidak
berlebihan apabila seorang guru melanjutkan perjuangan Nabinya dalam rangka
menyem purnakan akhlaq manusia terutama akhlaq pada anak didiknya sendiri.
Menurut penulis Mahmud Yunus memasukkan sifat ini dikarenakan
begitu urgennya akhlaq dalam kehidupan manusia. Menurut Mahmud Yunus, tujuan
pendidikan akhlaq ialah membentuk putra putri
yang berakhlaq mulia, berbudi luhur, bercita-cita tinggi, berkemauan
keras, beradab sopan santun, baik tingkah lakunya, manis tutur bahasanya, jujur
dalam segala perbuatannya, suci murni hatinya[72].
Sejalan dengan hal tersebut, Abu Bakar Muhammad juga merumuskan
tujuan pendidikan akhlaq yaitu :
1.
Meluruskan
naluri manusia dan kecendrungan fitrahnya yang membahaya kan masyarakat, bilamana
dibiarkan saja menuruti keadaannya.
2.
Mengusahakan
bagi anak itu kebiasaan-kebiasaan dan kemauan baru. Karena kebiasaan-kebiasaan
itu akan terbentuk dengan perantara latihan dan pengulangan.
3.
Membentuk
rasa kasih sayang yang mendalam yang akan menjadikan seseorang merasa terikat
selamanya, dengan amal yang baik dan selalu menjauhi perbuatan jelek.
4.
Dengan
pengajaran akhlaq ini, memungkinkan seseorang dapat hidup di tengah masyarakat
tanpa menyakitkan seseorang atau dia tidak disakiti seseorang[73].
Jadi menurut penulis, pemikiran Mahmud Yunus dan Abu Bakar Muhammad
seiring dan sejalan yaitu untuk membentuk kepribadian manusia pada umumnya dan
anak didik pada khususnya. Dan dengan adanya pendidikan akhlaq ini diharapkan
bermuara pada kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
Melihat uraian di atas begitu pentingnya pendidikan akhlaq bagi
anak didik. Pendidikan akhlaq tidak hanya berorientasi agar anak dapat
berbahagia dikehidupan akhirat kelak. Lebih dari itu pendidikan akhlaq mencetak
pribadi-pribadi yang dapat berinteraksi dengan baik dalam menjalani kehidupan
di dunia ini.
Pendidikan akhlaq juga berusaha untuk membiasakan kepada anak didik
bagaimana bertingkah laku yang baik. Baik ketika dia berada dalam pantauan
gurunya ataupun dia jauh dari gurunya. Apa bila akhlaq yang mulia telah
terpatri dan menjadi kebiasaan dalam diri anak didik, maka akhlaq tersebut akan
selalu menjadi pakaian sehari-hari bagi
anak didik.
Tanpa adanya pendidikan akhlaq, anak didik akan mengikuti kemauan
dan mengikuti kecendrungan fitrahnya. Apabila kecendrungan tersebut mengarah
kepada kejelekan, maka akan membahayakan bagi anak itu sendiri dan juga bagi
masyarakat. Maka akan timbullah kegiatan-kegiatan yang akan merusak moral bagi
anak itu sendiri dan juga kerusakan bagi lingkungan masyarakat sekitar.
Pendidikan akhlaq juga mempersiapkan anak didik untuk dapat hidup
di tengah-tengah masyarakat dengan sebaik-baiknya. Pembiasaan-pembiasaan yang
diterapkan guru di sekolah akan terbawa ketika mereka hidup di tengah-tengah masyarakat. Dengan
pendidikan ini diharapkan anak didik mempunyai kepekaan hati dan perasaan. Ia
tidak akan menyakiti orang lain, karena hatinya akan merasa tidak enak apabila
orang lain menyakiti dirinya. Ia akan selalu menghormati orang yang lebih tua
darinya, karena hatinya lembut untuk
selalu berbuat baik pada orang yang lebh tua ataupun lebih muda dari dirinya
sendiri.
Pendidikan akhlaq tersebut adalah pendidikan budi pekerti di lihat
dari pembiasaan seseorang dengan sifat-sifat yang baik dan mulia seperti,
jujur, menghormati orang lain,
ikhlas, suka beramal, berani dalam kebenaran dan menghormati orang lain, jadi
pendidikan akhlaq tersebut selain pendidikan ukhrawi juga pendidikan
kemasyarakatan. Dikatakan pendidikan kemasyarakatan karena pendidikan akhlaq
tersebut mempersiapkan anak didik agar dapat hidup dan diterima ditengah-tengah
masyarakat.
Masyarakat mempunyai hak atas
individu dan individu-individu tersebut mempunyai kewajiban untuk menunaikan
hak-hak dan mengerjakan kewajiban tersebut. Meskipun ia merasakan berat untuk
menunaikan kewajiban-kewajiban nya di tengah-tengah masrarakat.
Menurut penulis pendidikan akhlaq itu tidak hanya sebatas pada
mendorong anak didik agar menghafal pelajaran-pelajaran yang disampaikan guru
kepada anak didik. Lebih dari itu pendidikan akhlaq adalah suatu pembiasaan dan
juga praktek yang terus menerus sehingga
tertanamlah sifat-sifat yang baik itu dalam jiwa anak didik.
Maka dalam pendidikan akhlaq ini peran guru menjadi sesuatu yang
sangat penting dalam rangka penanaman dan pembiasaan kepada anak didik. Guru
dituntut pertama kali untuk mempraktekkan dan memberikan contoh kepada anak
didik agar selalu menghiasi diri dengan akhlaq mulia, baik ketika berada di tengah-tengah
masyarakat atau dalam keadaan sendiri.
Selain peran guru sebagi contoh, guru juga dituntut untuk
menciptakan iklim, di mana anak didik harus mempraktekkan akhlaq baik itu
sendiri. Sebagai contoh guru harus membuat aturan-aturan di mana anak didik
harus mengucapkan salam ketika memasuki kelas, anak harus membuang sampah pada
tempatnya, anak harus memberi salam ketika bertemu dengan teman-temannya dan
lain sebagainya. Suasana yang seperti ini sangatlah membantu dalam menginternalisasikan akhlaq yang
baik kepada jiwa anak didik.
Sebaliknya kebiasaan-kebiasaan jelek seorang pendidik secara tidak
langsung akan mempengaruhi akhlaq anak didiknya. Guru yang tidak memiliki
kesopanan dalam menghadapi anak didiknya akan membentuk prilaku yang tidak
sopan pula pada anak didik tersebut. Seorang guru yang tidak dispilin, yang
selalu datang terlambat akan menjadikan anak tidak disiplin.
Ketidak sesuaian antara apa yang disampaikan guru dengan perbuatan guru akan
membuat suatu kebingungan pada peserta didik. Di satu sisi guru selalu menekankan pada anak didik untuk berlaku disiplin.
Sedangkan dalam realita guru tersebut tidak pernah disiplin. Kebingungan yang
terjadi pada anak didik akan membahayakan kewibawaan pendidik itu sendiri. Bisa
jadi di kemudian hari anak tidak akan mempercayai
ucapan-ucapan guru karena ketidak singkronan antara ucapan dan perlakuan guru
itu sendiri.
Menurut penulis dalam pendidikan akhlaq ini
guru tidak hanya sebatas mentransfer nilai-nilai yang ada dalam pelajaran, lebih
dari itu contoh dan suri tauladan dri guru sangat menentukan dalam penanaman
akhlaq pada individu-individu anak didik.
Menurut penulis, yang sangat perlu
diperhatikan oleh seorang guru dalam pendidikan akhlaq ini adalah pembentukan
akhlaq pada guru itu sendiri. Dalam arti
kata, gurulah yang pertama kali harus berakhlaq mulia dan mencontohkan akhlaq
tersebut pada anak didiknya. Tanpa hal tersebut pendidikan akhlaq hanya sebatas
teori-teori tanpa aplikasi. Maka pengetahuan yang didapat anak didik hanya
sebatas pengetahuan kognisi semata.
Menurut Mahmud Yunus guru dalam menjalani profesinya
haruslah berlaku jujur dan juga ikhlas dalam melakukan pekerjaannya. Karena
kejujuran dan keikhlasan seorang guru adalah jalan yang terbaik untuk
kesuksesan dalam mengajar dan sekaligus kesuksesan anak didiknya.
Kejujuran bagi seorang guru merupakan
mahkota yang menghiasi kepalanya, jika
kehilangan sifat jujur, maka ia akan kehilangan kepercayaan manusia terhadap
ilmunya dan terhadap pengetahuan-pengetahuan yang ia sampaikan kepada mereka[74].
Secara psikologis, anak yang mengetahui kebohongan gurunya suatu
saat akan mengikuti kebohongan itu pula. Bahkan apabila guru tersebut selalu
berbohong dan diketahui oleh anak didiknya, maka anak didik tersebut akan
mengambil kesimpulan bahwa kebohongan tersebut diperbolehkan. Mengapa? Karena
guru yang menjadi panutannya selalu melakukan kebohongan terhadap mereka.
Kejujuran guru akan membuat anak didik percaya
kepadanya dan percaya kepada apa yang diucapkan guru tersebut. Hal itu menyebabkan ia akan dihargai oleh
anak didiknya dan juga oleh guru-guru yang lain. Kejujuran seorang guru tampak pada
pekerjaan yang diembannya, diantaranya mentransformasikan pengetahuan
kepada anak didik dengan utuh.
Dalam menyampaikan pengetahuan, seorang guru
hendaklah menyampaikan secara utuh, tidak menyampaikan setengah-setengah dan
juga disertai dengan bukti-bukti yang ilmiah. Hal ini akan menyebabkan kepuasan
anak didik terhadap apa yang disampaikan guru tersebut dan akan merangsang anak
didik untuk lebih ingin tahu terhadap suatu permasalahan.
Apabila guru tidak bersikap jujur maka ia akan
memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didiknya secara tidak lengkap. Fakta dan bukti yang
diungkapkan berbeda dengan yang seharusnya ia transpormasikan. Maka apabila
anak terbisa menerima prilaku jelek dari gurunya, lama kelamaan ia akan
menganggap perbuatan itu baik sehingga ia terbiasa dengannya. Dan hal ini akan
membahayakan bagi masyarakat[75].
Kejujuran guru juga akan terlihat disaat ada
pertanyaan dari anak didik yang mungkin
agak sulit atau mungkin guru tersebut belum dapat untuk menjawabnya. Guru yang jujur akan berterus terang mengatakan bahwa ia belum dapat menjawab pertanyaan tersebut dan berusaha
untuk mencari jawaban dari pertanyaan tersebut.
Apa yang dilakukan guru tersebut bukanlah suatu
yang akan mengurangi derajatnya di hadapan anak didiknya. Bahkan sikap guru yang
seperti ini secara tidak langsung akan mengajarkan kejujuran di hadapan anak didiknya walaupun mungkin berat untuk melakukannya.
Dibandingkan seorang guru yang ingin mempertahankan maratabatnya dihadapan anak
didiknya dengan menjawab pertanyaan tersebut, padahal guru tersebut tidak mampu
untuk menjawabnya. Berarti guru tersebut telah menyesatkan anak didiknya
selama-lamanya. Dan suatu saat jika anak didik tersebut mengetahui kebohongan
gurunya. Maka akan rusaklah kewibawaan guru tersebut dan guru itu tidak akan
dipercayai anak didiknya.
Secara psikologis anak yang mengetahui kebohongan gurunya
ia akan mencontoh kebohongan dari gurunya tersebut. Karena pada hakekatnya anak
akan meniru apa yang di lihat dan didengarnya. Terlebih dari orang
yang diidolakannya
Menurut Mahmud Yunus, guru juga harus memiliki
badan yang sehat, hal ini untuk menumbuhkan
kepribadian yang sempurna. Guru yang fasih perkataannya, panca indranya
sehat, memiliki badan yang tegap akan menunjang keberhasilan pekerjaaannya.
Seorang guru yang sakit-sakitan akan sangat merugikan anak
didiknya. anak didik akan banyak mengalami ketertinggalan dalam hal pelajaran
apabila gurunya sering tidak masuk dikarenakan sakit. Dengan sering tidak
masuknya guru akan dapat menyebabkan pelajaran yang disampaikan guru sebelumnya
terlupakan oleh anak didik. Dapat kita bayangkan, seorang guru selama tiga
minggu berturut-turut tidak masuk karena sakit. Ketika guru tersebut masuk dan
ingin melanjutkan pelajaran yang telah diajarkannya, maka guru tersebut akan
merasa kesulitan. hal ini bisa jadi disebabkan lupanya anak didik terhadap apa
yang disampaikan gurunya. Maka guru tersebut harus mengulang kembali apa yang
telah disampaikannya. Dan hal tersebut sangat merugikan waktu bagi anak didik
itu sendiri.
Guru juga hendaknya jangan memilki cacat jasmani. Hal ini dapat
menggannggu tugas pedagogisnya[76]. guru
yang matanya rabun akan mengalami kesulitan untuk mengawasi anak didiknya di dalam
kelas. Demikian pula guru yang kurang dalam hal pendengaran akan sulit
berinteraksi dengan anak didiknya ketika ada sesuatu hal yang perlu
didiskusikan.
Ketidak mampuan guru dalam mengawasi anak di dalam kelas memberikan
pengaruh terhadap optimalnya proses belajar mengajar. Hal ini disebabkan guru
tidak dapat mengetahui satu persatu keberadaan anak didiknya disaat dia
menyampaikan pesan dan pelajaran. Keadaan seperti ini akan mengakibatkan
sebagian anak didik faham akan pesan yang disampaikan, dan sebagian lagi bagi
anak-anak yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing disaat guru menerangkan
tidak mengerti terhadap apa yang telah disampaikan guru. Dengan demikian tidak
akan terjadi pemerataan pemahaman dikarenakan keterbatasan guru dalam
mengorganisasi kelas dikarenakan kekurangan dalam fisiknya.
Demikian pula dengan cacat tubuh, hendaknya guru terhindar dari
cacat tubuh, karena akan menggangu guru tersebut dalam melaksanakan tugasnya,
dan akan mengurangi atau mungkin menghilangkan kebanggaan murid kepada gurunya[77].
Karena secara psikologis anak akan senang dengan keberadaan gurunya yang
sempurna. Anak didik akan merasa kecewa dengan keadaan fisik gurunya ini dan
hal tersebut sangatlah mempengaruhi terhadap hasil belajar anak didik itu
sendiri.
Guru yang memilki cacat fisik dikhawatirkan akan menjadi bahan
ejekan dari anak didiknya. Guru yang pincang dapat saja suatu saat dipanggil
oleh anak didiknya “pak pincang “ dan sebagainya. Hal ini dapat saja terjadi
disaat anak didik merasa tidak suka terhadap guru tersebut dan keluarlah
perkataan-perkataan yang tak pantas untuk guru tersebut.
Cacat yang dimiliki guru juga akan mengakibatkan kurangnya rasa
percaya diri guru disaat bergaul dengan anak didiknya yang mengakibatkan
kurangnya interaksi antara guru dan anak didiknya. Kurangnya interaksi ini akan
mengakibatkan terputusnya informasi antara guru dan murid yang pada akhirnya
anak didik akan mencari-cari kebenaran dan hal tersebut dapat membingungkan
mereka.
Menurut penulis sifat yang ditentukan Mahmud Yunus ini tidaklah
baku. Artinya, dengan kemajuan tekhnologi pada saat ini guru dapat menutupi
kekurangan-kekurangannya. Guru yang kurang dalam penglihatannya dapat
menggunakan kaca mata untuk membantu penglihatannya. Guru yang kurang dalam hal
pendengaran dapat menggunakan alat bantu agar dapat mendengar dengan baik. Jadi
selama kekurangan-kekurangan guru tersebut dapat ditutupi dan tidak mengganggu
interaksi antara guru dan anak didik maka penulis dapat mentolerir
kekurangan-kekurangan guru tersebut.
Dalam mendidik Mahmud Yunus
juga mengharuskan guru untuk memiliki pengetahuan yang luas dan juga guru
dituntut untuk cakap dalam mengajar. Hal ini sejalan dengan pemikiran Ngalim
Purwanto yang menuntut guru agar memiliki pengetahuan yang luas [78].
Guru dituntut untuk menguasai pelajaran yang akan diajarkannya kepada murid dan
juga pengetahuan-pengetahuan lain yang menunjang profesinya sebagai guru.
Karena guru adalah tempat bertanya bagi anak-didiknya.
Seorang guru haruslah mempunyai perhatian intelektual yang luas
dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang lain. Para guru harus lebih banyak
belajar lagi, berfikir lebih banyak dan harus mengerti lebih banyak lagi
tentang hal-hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.
Dalam proses belajar mengajar, guru yang tidak mengusai pelajaran
dengan sempurna akan mengalami kesulitan saat menyampaikan pengetahuan kepada
anak didiknya. Untuk itu guru dituntut untuk selalu belajar dan menambah
pengetahuannya, lebih-lebih terhadap mata pelajaran yang akan diajarkannya.
Guru yang tidak menguasai
pelajaran dan dangkal pengetahuannya akan merasa kesulitan dalam menyampaikan
materi pelajaran. Maka guru tersebut akan dihinggapi rasa bosan dan tidak dapat
menikmati perannya sebagai guru disaat proses belajar mengajar terjadi. Maka
guru akan mempermasalahkan hal hal yang tidak perlu sebagai alat untuk
menghabiskan jam pelajaran tersebut. Ataupun hanya sebatas memberikan tugas dan
latihan untuk anak didiknya.
Menurut penulis hal seperti ini secara psikologis akan mematikan
semangat anak dalam menuntut ilmu. Seorang anak yang dalam keadaan tamak
menuntut ilmu, akan tetapi guru tidak dapat menjembataninya untuk mencapai apa
yang diharapkannya. Maka anak akan merasa kecewa pada guru tersebut. Kekecewaan
anak didik terhadap gurunya akan menyebabkan anak didik tersebut malas untuk
belajar dan juga tidak mempercayai gurunya.
Selain itu, anak didik yang mengetahui bahwa gurunya tidak
menguasai pelajaran akan kurang kepercayaannya terhadap guru tersebut. Apa yang
disampaikan guru akan selalu diragukan kebenarannya dan anak didik cendrung
akan meremehkan keberadaan guru itu sendiri. Yang pada akhirnya akan hilanglah
interaksi pedagogis antara guru dan anak didik dan hal ini sangatlah
membahayakan.
Menurut Mahmud Yunus, seorang
guru dalam mengajar haruslah berbicara dengan murid-murid dalam bahasa yang
difahaminya. Menurut penulis, pemikiran Mahmud Yunus ini bertujuan untuk
menciptakan interaksi yang baik antara seorang guru dan anak didiknya.
Pembicaraan guru yang tidak difahami oleh anak didiknya akan
mengaki- batkan anak bosan di dalam kelas dan malas untuk memperhatikan
pelajaran. Pembicaraan guru yang tidak difahamai anak didik juga akan
mengakibatkan kesulitan bagi anak didik untuk menyerap apa yang akan
disampaikan oleh gurunya.
Maka dalam hal ini seorang guru hendaklah berbicara sesuai dengan
kadar kemampuan pemahaman mereka, apalagi anak didik yang masih dalam usia
kanak-kanak. Pemakaian bahasa-bahasa asing akan mengakibatkan anak kesulitan
dalam memahami pelajaran ataupun pesan yang disampaikan oleh gurunya.
Menurut penulis guru yang menyampaikan pelajaran dengan bahasa yang
seadanya dan familiar akan disenangi murid dan akan lebih mudah dicerna oleh
anak didik. Hal ini akan memberikan keuntungan tersendiri bagi guru dalam
memahamkan konsep dan menanamkan nilai pada anak didiknya yang pada akhirnya
tujuan pembelajaran tersebut akan tercapai dengan baik.
Berbeda dengan guru yang menggunakan bahasa yang tidak difahami
anak didiknya. anak didik tersebut cendrung akan diam dan mencari kegiatan
lain. Mungkin mereka akan sibuk dengan permainan mereka, ataupun mereka akan membaca
buku-buku pelajaran lain. Sifat guru yang seperti ini akan merugikan anak
didiknya. Karena ketidak mampuan guru dalam mengajar dan memilih kata-kata yang
dapat dicerna oleh anak didiknya yang imbasnya adalah menurunnya prestasi anak
didik tersebut.
Jadi menurut penulis pemilihan kata dalam
berkomunikasi haruslah diperhatikan oleh seorang guru. Karena kata-kata yang tidak
dimengerti oleh anak didik akan menyebabkan kerancuan dalam berfikir pada
seorang anak. Dan inilah sebagai penyebab utama mengapa anak didik sulit untuk
memahani pelajaran-pelajaran yang disampaikan kepadanya.
Menurut Mahmud Yunus guru harus belajar terus menerus. Hal ini
dilakukan agar keilmuan seorang guru tidak tertinggal dari pengetahuan
anak-anak didiknya. Pengalaman dan pengetahuan seorang guru sangat diperlukan
dalam pengajaran. Seorang guru tidak cukup hanya menguasai pengetahuan
spesialisasinya saja, lebih dari itu pengalaman dan pengetahuan umum juga
sangat penting bagi seorang guru.
Hal tersebut diperlukan karena dalam kegiatan belajar mengajar
sehari-hari, siswa sering menanyakan hal-hal yang berada di luar pelajaran. Dan
dalam hal ini guru harus pandai dalam menjelaskan pertanyaan siswa tersebut.
Kemampuan guru dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan anak didiknya
akan memuaskan hasrat anak didik untuk mengetahui tentang sesuatu. Hal ini akan
membuat anak didik merasa bangga kepada gurunya dan menciptakan suatu perasaan
percaya akan kemampuan gurunya tersebut. Inilah yang harus dipunyai seorang
guru yaitu membuat anak didik percaya dan bangga dengan keberadaan dirinya.
Guru yang lebih banyak tidak dapat menjawab pertanyaan yang
diajukan anak didiknya akan membuat kridebilitas guru tersebut menurun di mata
anak didiknya. Ketidak mampuan guru juga akan menghilangkan kepercayaan anak
didik terhadap apa yang disampaikan guru
terhadap mereka. Kenyataan seperti ini akan meruntuhkan kewibawan guru di mata
anak didiknya. Anak didik serta merta akan memfonis gurunya bahwa gurunya
tersebut bodoh, tidak berilmu, tidak menguasai pelajaran dan sebaginya.
Melihat hal diatas, penulis sangat setuju dengan pemikiran Mahmud
Yunus. Guru hendaknya berada selangkah di depan anak didiknya dalam hal
pengalaman dan ilmu pengetahuan. Hal ini untuk menjaga keberadaannya di hadapan
anak-anak didiknya. Lebih dari itu guru yang cerdas dan kaya dengan pengalaman
akan menjadi contoh bagi anak didiknya sekaligus memotivasi anak didiknya untuk
selalu belajar dan menimba ilmu
pengetahuan.
Menurut Mahmud Yunus guru haruslah
cakap dalam mengajar. Seorang guru harus menyadari bahwa mengajar
merupakan suatu pekerjaan yang tidak sederhana dan mudah. Sebaliknya, sifatnya
sangat kompleks karena melibatkan aspek pedagogis, psikologis, dan didaktis
secara bersamaan[79].
Kecakapan guru dalam mengajar meliputi dari kemampuan guru untuk
menggunakan media, kemampuan guru memilih metode pengajaran, mengorganisai
kelas, memberikan motivasi pada siswa dan juga mengevaluasi pengajaran dan juga
mengevaluasi hasil belajar siswa.
Kemampuan guru dalam melakukan hal-hal di atas akan mempengaruhi
hasil belajar anak didik. Sebaliknya guru yang tidak mampu untuk melakukan hal
tersebut akan menyebabkan hasil belajar anak didik tidak menjadi maksimal.
Seorang guru yang salah dalam memilih metode dalam mengajar akan
menjadikan pembelajaran tidak berkesan pada anak didik. Anak didik cendrung
akan merasa bosan pada saat pelajaran berlangsung. Yang pada akhirnya interaksi
antara guru dan anak didik tidak menjadi maksimal.
Hal semacam ini menurut penulis sangatlah merugikan anak didik.
Karena ketidak mampuan anak didik dalam menyerap informasi dari guru disebabkan
kurangnya kemampuan guru dalam memilih metode dalam pembelajaran.
Maka menurut penulis, seorang guru haruslah memiliki kemampuan
dalam tiga aspek dalam pengajaran, yaitu aspek pedagogis, aspek psikologis dan
didaktis. Dengan menguasai aspek pedagogis guru akan menyadari bahwa mengajar
di sekolah berlangsung dalam suatu lingkungan pendidikan. Dengan demikian guru
harus dapat menciptakan suasana belajar yang dipenuhi nilai-nilai yang positif
bagi anak didiknya.
Salah satu aspek pedagogis yang harus dikuasai guru menurut PP No
18 tahun 2007 adalah Perancangan Pembelajaran[80].
Yang mana guru harus dapat merencanakan system pembelajaran yang memanfaatkan
sumber daya yang ada. Semua aktifitas pembelajaran dari awal ssampai akhir telah dapat direncanakan secara baik termasuk
apabila terdapat permasalahan dalam proses pembelajaran tersebut.
Demikian juga dengan menguasai aspek psikologis guru akan menyadari
bahwa para siswa yang belajar pada umumnya memiliki taraf perkembangan yang
berbeda satu dengan lainnya, sehingga menuntut materi, metode dan pendekatan
yang berbeda. Penguasaan pada aspek psikologis juga akan menjadikan guru
mengerti bahwa cara penangkapan siswa terhadap materi pelajaran tidak sama dan
cara belajar antara satu individu yang satu dengan individu yang lain juga
berbeda.
Dari sini dapat kita lihat betapa pentingnya kecakapan dan
kemampuan guru dalam mengajar. Karena pada hakekatnya keberhasilan guru dalam
mengajar bukan satu-satunya terletak
pada kepintaran yang dimiliki anak didik, lebih dari itu penguasaan guru
terhadap aspek pedagogis, psikologis dan didaktis akan mempengaruhi hasil dari
proses pembelajaran tersebut.
Menurut Mahmud Yunus seorang guru haruslah berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan guru juga harus
sadar akan kewajibannya terhadap
masyarakat. Untuk itu seorang guru harus menyadari akan kewajibannya terhadap
masyarakat, dan guru harus mengetahui bahwa tiap-tiap cabang pengajaran adalah
untuk kepentingan masyarakat.
Menurut Mahmud Yunus
pelajaran yang diberikan guru kepada anak didiknya haruslah yang praktis dan berguna utuk masyarakat
serta mempunyai kekuatan dan pengaruh untuk dapat memperbaiki akhlaq.
Menurut penulis pemikiran Mahmud Yunus ini didasari oleh tanggung
jawab guru terhadap masyarakat. Yang mana guru tidak hanya bertanggung jawab
terhadap anak didiknya, lebih dari itu guru juga mempunyai tanggung jawab untuk
memperbaiki keadaaan masyarakat sekitarnya.
Salah satu andil guru dalam memperbaiki keadaan masyarakat adalah
menciptakan individu-individu yang berkualitas yang akan hidup ditengah-tengah
masyarakat tersebut. individu-individu tersebut adalah anak didiknya di sekolah.
Untuk itu, seorang guru harus mengetahui apa kebutuhan yang sangat penting bagi
masyarakat pada saat itu. Hal ini akan diketahui oleh guru apabila guru
tersebut berinteraksi dengan masyarakat dan mengetahui tugas-tugasnya
ditengah-tengah masyarakat.
Guru yang mengetahui kebutuhan masyarakat yang ada disekelilingnya
akan merancang pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat tersebut. Maka
akan terciptalah suatu kesesuaian antara kebutuhan masyarakat dengan out put
yang dikeluarkan dari sekolah yang ada pada masyarakat tersebut.
Menurut penulis guru sebaiknya juga turut aktif dalam
kegiatan-kegiatan yang ada dalam masyarakat. Apabila hal ini dikerjakan maka
guru akan mendapat peluang yang baik untuk menjelaskan tentang keadaan sekolah
kepada masyarakat itu, sehingga mendorong masyarakat untuk ikut memikirkan
kemajuan pendidikan anak-anak mereka.
Selanjutnya menurut penulis, guru yang berhubungan dengan
masyarakat akan mengetahui kekayaan sumber-sumber belajar ditengah masyarakat, seperti adanya nara
sumber, adanya museum, kebun binatang dan lain sebagainya. Dengan demikian guru
dapat mengelola dan menjadikan sumber-sumber belajar tersebut
dalam rangka memperkaya pengetahuan anak didiknya.
Pendayagunaan sumber-sumber belajar di masyarakat bisa dilakukan dengan jalan penentuan
strategi belajar mengajar dan mengaktifkan keterlibatan mental siswa di dalam
mengkaji sumber-sumber belajar dilingkungannya[81].
Dengan demikian anak didik akan merasakan pengalaman belajar secara
langsung dari sumber yang ada disekitar mereka. Pengalaman yang seperti ini
akan memberikan suatu kesan yang tersendiri bagi anak didik dan pengetahuan
yang didapatinya akan bertahan lama dalam diri mereka.
Melihat penjelasan di atas, banyak
keuntungan yang didapati oleh guru yang berinteraksi langsung dengan
masyarakat. Guru dapat memperkaya pengetahuan anak didiknya dengan mengenalkan
kepada mereka sumber-sumber belajar yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Selain itu guru juga akan mengetahui kebutuhan yang mendasar yang ada pada pada
masyarakat sekelilingnya. Dengan demikian guru juga bisa menjadi pembaharu
ditengah-tengah masyarakatnya.
[1]
Mahmud Yunus, Pokok-Pokok
Pendidikan Dan Pengajaran, PT Hidakarya Agung, Jakarta, 1990, h. 61.
[2] Mahmud Yunus ,
Ibid., h. 63.
[3] Ibid., h.
63.
[4] Ibid.,
h. 65.
[5] Ibid.,
h. 66.
[6] Mahmud Yunus, At-tarbiyah
wa At-ta’lim, Juz I, Dar-Assalam, Dar Assalam, tth, h. 6.
[7] Mahmud Yunus, op. cit., h. 69.
[8] Mahmud Yunus, At-tarbiyah wa At-ta’lim, op. cit.,
h. 9.
[9] Mahmud Yunus, Pokok-Pokok
Pendidikan Dan Pengajaran, op. cit., h. 70.
[10] Ibid.,
h. 71.
[12] Ibid.,
h. 73.
[13] Mahmud Yunus, At-tarbiyah wa At-ta’lim, op. cit.,
h. 8.
[14] Sudarwan Danim
dan H. Khairil, op. cit., h. 157
[15] Eri Suardi., op.
cit., h. 43
[16] Uyoh
Syadullah, Pedagogik., op. cit, h 202
[17] Sudarwan
Danim, Pedagogi, Andragogi, dan Heutagogi, op. cit., h. 42
[18] Tohirin, op.
cit., h. 178
[20].Madyo
Ekosusilo dan R.B Kasihadi, Dasar-Dasar Pendidikan, Efihar Publishing,
Semarang, 1993, h. 15.
[21]
Uyoh sadullah,
op. cit., h, 129.
[22]
Muhibbinsyah, op.
cit., h. 227.
[24] Sutari Iman
Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, Andi Offset, Yogyakarta, 1993, h. 63.
[25]
Uyoh Sadullah, op.
cit, h. 156.
[28] Ahmad D
Marimba, op .cit, h. 34.
[30] Soetjipto, Profesi
Keguruan, op. cit., h. 108.
[31]
PP No 18 Tahun 2007
[32] Ahmad D
Marimba, op. cit., h. 35.
[33] Akhlaq dalam
ajaran agama Islam tidak dapat disamakan dengan etika, jika etika dibatasi pada
sopan santun antar sesama manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku
lahiriah. Akhlaq lebih luas maknanya,mencakup juga beberapa hal yang tidak
bersifat lahiriah. Misalnya berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran.
Lihat Quraish Shihab, Wawasan
Al-quran, Mizan, Bandung, 2000, h.
261.
[34] Uyoh Sadullah,
op. cit., h. 165.
[35] Amir Daien
Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, Usaha Nasional. Surabaya, 1973, h.128.
[36] Uyoh Sadullah,
op. cit., h. 165
[37] Uyoh Sadullah,
Ibid., h. 164-165
[40] Zuhairini, Filsafat
Pendidikan Islam, Bumi Aksara. Jakarta, 2008, h. 84.
[41] Sudarwan Danim,
op. cit., h. 254.
[42] Fuad Asy
Syalhub, Guruku Muhammad SAW, Gema Insani Press, Jakarta, 2006, h. 8.
[43] Ibid., h.
9.
[44] Ibid.,
h. 38.
[45]Abu Bakar
Muhammad, Pedoman Pendidikan& Pengajaran, Usaha Nasional, Surabaya, 1981,
h. 30.
[46] Abu Bakar
Muhammad, Ibid., h. 33.
[47] Ngalim
Purwanto,Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis, PT Rosydakarya, Bandung,
2006, h. 143.
[48] Ibid., h. 145.
[52]Tohirin, op.
cit., h. 173.
[54] Balnadi
Sutadipura, op .cit., h. 44.
[56] Nana Syaodih Sukmadinata,Landasan Psikologi Proses Pendidikan, PT Remaja Rosydakarya, Bandung, cet IV, 2007, h. 255.
[57] Mahmud Yunus, Pokok-Pokok
Pendidikan dan Pengajaran, loc .cit, h. 61
[58] Uyoh
Syadullah, op. cit., h.156.
[61] Ibid., h.
143
[62] Ahmad D
Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, op. cit, h. 34.
[76] Suwarno, op.
cit., h. 92.
[77] Amir Daien
Indrakusuma, op. cit., h. 172.
[79] Ngainun Naim.,
op.cit, h. 15
[80]
PP No 18 tahun 2007
[81] Burhanuddin
Salam, Pengantar Pedagogik,
Rineka Cipta, Jakarta, 2002, h. 137
Tidak ada komentar:
Posting Komentar